Rabu, 04 April 2012

Patahan Lembang



Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Pencari rumput untuk sapi ternak beraktivitas di bawah Gunung Batu, Lembang, Bandung Barat, yang merupakan kawasan Patahan Lembang, Selasa (7/2). Waktu adalah musuh abadi ingatan. Lebih lagi saat rekam bencana telah membaur dengan perubahan. "Hukum" itu tak hanya di Tasikmalaya, tetapi juga di tepian Patahan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Eko Yulianto, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ingin menghidupkan ingatan. Tahun 2009, di sebuah perumahan mewah di Cihideung, Eko memapas lapisan bumi. Dia menggali paritan sepanjang 9 meter, selebar 3 meter, dan sedalam 3,5 meter demi mencari jejak gempa Patahan Lembang yang terkubur sejak 2.000 tahun lalu.

Patahan Lembang merupakan retakan sepanjang 22 kilometer, melintang dari timur ke barat. Berawal di kaki Gunung Manglayang di sebelah timur dan menghilang sebelum kawasan perbukitan kapur Padalarang di bagian barat. Patahan itu tepat di antara Gunung Tangkubanparahu dan dataran Bandung sehingga membentuk dua blok, utara dan selatan.

Sebuah dinding raksasa sepanjang 22 kilometer terbangun oleh naiknya permukaan tanah di blok selatan dan turunnya permukaan tanah di blok utara. ”Tembok” itu membentengi pemandangan orang di utara ke arah selatan. Gerakan blok batuan itulah yang mengirim gempa. Banyak yang mempertanyakan keaktifan Patahan Lembang, tetapi Eko yakin patahan itu bergerak.

Jejak itu akhirnya dia temukan terekam di bekas kolam gambut tua yang digalinya di sebelah utara patahan itu. Pembentukan kolam tersebut akibat gerakan Patahan Lembang. Sebuah gempa berkekuatan 6,8 skala Richter 2.000 tahun lalu mengambleskan permukaan tanah bagian utara 1,7 meter dari permukaan tanah di selatan. Akibatnya, aliran sungai tergeser dan terbendung. Kolam (sagpond) pun terbentuk.

Material lumpur dan sisa-sisa tanaman mengendap di kolam itu dan menjadi tanah alas tumbuh pepohonan. Ada jeda waktu lama hingga pohon-pohon memadat di atas sagpond dan tercipta hutan. ”Hutannya sangat lebar. Butuh waktu ratusan tahun, apalagi endapan gambut yang mengisi kolam tebalnya sampai 1,7 meter,” ujarnya.

Hutan itu lalu diguncang gempa sehingga pohon-pohon roboh dan sampah hutan terendapkan. Tetapi, gempa tidak cukup besar untuk menciptakan kolam baru. ”Tidak diketahui kapan gempa yang merobohkan pohon-pohon itu,” ujar Eko.

Sebuah gempa besar berskala 6,6 Richter kembali terjadi 500 tahun lalu. Permukaan tanah di utara patahan amblas 0,5 hingga 1 meter dari patahan selatan. Bongkahan andesit dari dinding patahan berguguran dan tersebar di lantai hutan. Kali ini, batang-batang pohon tercabut dari akarnya.

Air dari mata air dan sungai menggenangi hutan. Siklus hidup sagpond dimulai lagi. Pohon yang tersisa mati tergenang air, lumpur yang terbawa air sungai mengendap, menutup lapisan sagpond sebelumnya sekaligus mengubur hutan. Eko menemukan sisa pepohonan hutan itu di dalam lapisan tanah.

”Gempa 6,8 skala Richter pada 2.000 tahun lalu dan 6,6 Richter pada 500 tahun lalu itu membuktikan Patahan Lembang bergerak dan mengirim gempa,” simpul Eko.

Keyakinan Eko akan aktifnya Patahan Lembang diperkuat kerja tim peneliti lain yang memantau pergerakan Patahan Lembang dengan menggunakan GPS. Sejak tahun 2006, peneliti dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, terlibat dalam pemburuan gerakan Patahan Lembang. Tim itu memasang jaringan GPS di 18 tempat pengamatan.

”Idenya, menghitung maju-geser Patahan Lembang selama 10.000 tahun terakhir,” ujar Irwan. Mereka mencoba merekam laju geser dan akumulasi energi patahan itu. Informasi itu memberikan gambaran deformasi atau perubahan bentuk dan dimensi dalam rentang jangka waktu lama.

Hasilnya, Patahan Lembang bergerak 4-6 milimeter per tahun. Blok di depan bidang patahan bergeser ke kiri dan mempunyai komponen vertikal. ”Ini berbeda dengan pandangan selama ini bahwa Patahan Lembang itu patahan normal atau turun,” ujar Irwan.

Pergerakan Patahan Lembang hanya sepersepuluh dari kecepatan patahan lain yang pernah mereka teliti, seperti patahan di Palurogo dan Sorong, apalagi jika dibandingkan kecepatan gerak Patahan Sumatera yang 20 milimeter hingga 30 milimeter per tahun.

Seberapa besar gempa dapat dihasilkan dari pergeseran Patahan Lembang? Rekaman data GPS sejauh ini mengungkap, bagian dangkal Patahan Lembang bergerak terus-menerus. Pergerakan di kedangkalan itu belum tentu dirasakan warga di sekitar patahan.

Akan tetapi, ada bagian patahan yang terkunci di kedalaman 3 kilometer hingga 15 kilometer. ”Jika energi terakumulasi dan bagian yang terkunci ini lepas, bisa terjadi gempa berskala besar,” ujar Irwan.

Pakemnya, kata Irwan, patahan sepanjang 20 kilometer hingga 30 kilometer mampu menyebabkan gempa maksimal 7 skala Richter. Panjang patahan bisa mengubah perhitungan dampak yang ditimbulkan.

Hanya saja, masih ada perdebatan apakah Patahan Lembang itu sebuah retakan sepanjang 22 kilometer atau terdiri atas dua segmen. Jika Patahan Lembang terdiri atas dua segmen pendek, gempa yang dihasilkan lebih kecil. Eko meyakini Patahan Lembang terdiri atas dua segmen yang ditandai adanya bumbungan seperti Gunung Batu sebagai hasil tekanan dari pertemuan segmen timur dan barat patahan.

Irwan belum puas dengan data yang tersedia. Menurut dia, patahan itu perlu lebih banyak dan lama diteliti. ”Banyak faktor yang mengontrol pergerakan patahan. Sulit bercerita banyak tentang Patahan Lembang tanpa ada data yang panjang,” ujarnya.(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api)

Artikel lebih lengkap kunjungi http://www.cincinapi.com

Kcm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar