Rabu, 25 April 2012

Polemik Naskah Negara Kertagama

Prawacana

Dalam kebudayaan Jawa, konsep “Raja” adalah penyangga dan penghubung mikrokosmos dan makrokosmos, kehidupan manusia dan alam semesta. Kemampuan raja dalam mengemban fungsi tersebut disebabkan ia memiliki kekuatan magis yang bersumber dari dua daya yang dimilikinya.

Partama, ia mendapat wahyu. Kedua, ia memiliki kesaktian. Wahyu menjadi raja diperolehnya sebagai berkah dan karunia dari Hyang Maha Kuasa, meskipun faktor keturunan, garis darah “biru”, sangat dominan dalam hal ini. Kesaktian didapat dari usahanya sendiri untuk menjadi seorang manusia yang tangguh lahir batin, seperti olah spiritual maupun usaha menghimpun benda-benda pusaka.

Bila ia kehilangan kedua atau salah satu sumber kekuatan magisnya itu, maka akan lenyap pulalah kekuasaan dan wibawanya. Ia menjadi tidak mampu lagi menyangga dan membina keharmonisan mikrokosmos dan makrokosmos. Hingga saat ini pun kekacauan terus-menerus hadir dalam kehidupan manusia di dunia maupun kejadian-kejadian menakutkan di alam semesta, oleh kebanyakan warga masyarakat Indonesia, khususnya di dalam masyarakat Jawa, hal tersebut masih dipandang sebagai pertanda lenyapnya kewibawaan penguasa.

Pendapat yang tertutur dari anggapan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional Jawa, bahwa kata yang disabdakan atau diekspresikan Raja dapat memiliki makna magis, dan segala sesuatu yang berkontak dengan Sang Raja, akan menyerap kesaktiannya. Terdorong oleh hal tersebutlah maka seorang putra terbaik Majapahit, Dang Acarya Nadendra, yang menyamarkan dirinya dengan nama Prapanca, menggubah kakawin yang diberi nama Desawarnana atau yang lebih kita kenal dengan kakawin Negara Krtagama. Ia merasa terdorong untuk ikut serta mengalunkan pujian bagi Sang Raja, meskipun kakawin karyanya tidak dikenal di istana pada saat itu. Karya ini tetap ia persembahkan kepada Duli Paduka Girinatha dengan harapan sang Paduka berkenan menerimanya. Tidak lain harapannya, semoga dunia sejahtera, dan terutama agar sang raja tetap kokoh bertahta.

Kebutuhan untuk mengekspresikan rasa adalah hal utama yang mendorong seseorang berkarya. Rasa itu tidak dapat diterjemahkan dalam kata-kata atau kalimat. Sepanjang apapun Anda mencoba mendeskripsikan ‘indah’, walaupun berjilid-jilid buku Anda buat, rangkaian kata itu tidak akan mampu untuk mencapai apa itu ‘indah’. Satu-satunya cara untuk menterjemahkan ‘indah’ itu adalah dengan mengekspresikannya dalam bentuk-bentuk yang lebih mewakilinya, lebih bersifat ‘simbolik’. Sebuah karya adalah suatu bentuk simbolik dari apa yang dirasakan oleh pembuatnya.

Kebutuhan akan suatu pengakuan juga menjadi pemicu seseorang untuk berkarya. Sebuah karya, termasuk masterpiece, tidak akan tercipta secara murni dan utuh bila harus mencari dahulu persetujuan orang lain tentang apa yang tengah dibuat. Soal diterima atau tidak adalah bagaimana orang lain mengapresiasi hasil karya tersebut.

Sebuah karya dikatakan menjadi mahakarya bila karya tersebut secara luas diapresiasi oleh masyarakat, yang tentu saja dengan cara yang berbeda. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah keindahan nilainya adalah relatif, sedangkan yang buruk adalah mutlak. Yang bagus buat saya belum tentu bagus di mata Anda. Nah, sebuah masterpiece adalah karya yang mampu mendapat pengakuan agung banyak orang, hingga mencapai nilai yang mutlak.

Hal lain yang mendorong orang berkarya adalah kebutuhan untuk berbagi. Kembali ke rasa, orang lain akan merasakan apa yang Anda rasakan hanya bila mereka merasakan apa yang Anda rasakan. Setengah mati Anda tidak akan dapat menjelaskan apa itu ‘manis’. Orang lain akan memahaminya hanya dengan sebuah experience lewat kegiatan makan gula, misalnya. Begitulah sebuah karya. Orang lain diharapkan dapat ikut menikmati kebahagiaan, keceriaan, kebesaran, dan juga kesedihan, kemuraman, serta tragedi yang menyelimuti sang pujangga ketika mereka melihat, menyentuh, mendengar, dan berada di dekat sebuah hasil karya yang tercipta. Orang lain akan merasakan sebuah sensasi yang terkemas dalam satu experience yang langsung dapat dirasakan.

Bagi seorang pujangga, pekerjaan menciptakan kakawin adalah suatu “laku”, suatu spiritual act menuju kesempurnaan diri, yang akhirnya ia dapat bertemu dan bersatu dengan sumber segala keindahan. Jadi, menciptakan kakawin atau karya kepujanggannya yang indah, tidaklah merupakan tujuan semata saja, melainkan sekaligus juga sebagai sarana untuk mencapai tujuan-akhir yang jauh lebih indah. Dengan demikian, karyanya yang berupa kakawin pun akan menjadi lebih “sakral”. Hal itu disebabkan karena upaya penciptaanya dilakukan dengan penuh kesungguhan, dengan menumpahkan pula seluruh kemampuan profesionalnya lahir batin.
Tentang Negara Krtagama

Negara Krtagama adalah suatu puja sastra dan sumber sejarah kebudayaan. Selesai digubah pada bulan Aswina1287 Saka atau September Oktober 1365. Negara Krtagama adalah salah satu bukti sejarah pembangunan Majapahit, khususnya dalam bidang kesusastraan. Naskah tersebut adalah gudang pengetahuan tentang sejarah Singhasari dan Majapahit.

Tampaknya naskah tersebut sengaja digubah oleh Mpu Prapanca untuk mengagungkan Raja Majapahit. Negara Krtagama, antara lain, berisi rekaman sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk, hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, kebudayaan, dan adat istiadat sepanjang jalan keliling Sang Prabu pada tahun 1359 Masehi. Semua itu dikumpulkan dan digubah menjadi sebuah karya sastra oleh Mpu Prapanca, saat mengunjungi daerah-daerah kekuasaan kerajaan Majapahit tersebut.

Naskah ini dimulai dengan pemujaan terhadap raja Wilwatikta, yaitu raja Majapahit yang disebutkan sebagai Siwa-Budha atau Rajasanagara. Tujuh pupuh berikutnya berisi tentang raja dan keluarganya, sembilan pupuh kemudian tentang istana dan kota Majapahit. Bagian paling panjang merupakan catatan perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang (23 pupuh) yang dilakukan pada bulan Agustus sampai September 1359. Sepuluh pupuh diantaranya menceritakan silsilah singkat raja-raja Singhasari dan Majapahit (Wangsa Girindra), yang menggambarkan bahwa Singhasari dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang tidak dapat dipisahkan. Penulisnya mengakui Negara Krtagama bukan buku pertama yang ditulisnya. Sebelumnya Prapanca telah menulis Parwasagara, Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua kitab lagi yang belum selesai, yaitu Saba Abda dan Lambang. Namun semuanya sampai sekarang belum ditemukan atau memang sudah hancur.

Cakranegara yang saat ini menjadi salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah menghebohkan dengan sebuah cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem, penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.

Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu. Slametmuljana menyebutkan sedikitnya sudah ditemukan empat naskah lain yang serupa, di beberapa geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali. Namun, naskah-naskah itu diduga merupakan turunan naskah Negara Krtagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok.

Cakep daun lontar itu adalah naskah Negara Krtagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan komentar-komentarnya.

Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar Negara Krtagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Negara Krtagama ini akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof Dr Slametmuljana dan disertai tafsir sejarahnya. Menyusul kemudian, Dr Th Pigeud yang menerjemahkan Negara Krtagama ke dalam Bahasa Inggris.

Seperti diketahui kemudian, Negara Krtagama pernah disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi 5023. Pemerintah Belanda mengembalikannya ke Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kini naskah itu menjadi koleksi unggulan Perpustakaan Nasional di Jakarta.

Lontar itu bisa berada di Puri Cakranegara, Lombok, karena dibawa oleh keluarga Kerajaan Kediri pada masa kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai pertengahan abad ke-18 M. Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem, dan sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.

Isi Negara Krtagama diterapkan di Lombok demi membangun sistem pemerintahan dan sekaligus sebagai sebuah pertahanan yang menyerupai kerajaan Majapahit. Ini juga ditujukan demi menjadikan Lombok sebagai benteng mempertahankan ajaran Hindu di Bali, menyusul masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa.
Peran Pemerintah Kolonial

Sejarah mencatat—meskipun hal ini masih bersifat debatable—penguasaan Belada terhadap Nusantara cukup lama, 350 tahun. Kebijakan Belanda yang “sempit”, tidak membuka kesempatan kepada bangsa-bangsa lain termasuk Pribumi untuk melakukan penelitian. Tercurahnya perhatian dan usaha mereka pada perdagangan terlalu eksklusif, sehingga mereka tidak mempunyai perhatian lagi pada peninggalan-peninggalan sejarah Nusantara.

Ketidakpedulian kaum Pribumi sama besarnya dengan para penguasa mereka, sikap tersebut kemudian menelantarkan karya-karya para leluhur mereka yang tidak dapat mereka tiru. Memang, mereka masih menghormati peninggalan-peninggalan yang bercorak Hindu atau pun Budha, meskipun mereka menganut prinsip-prinsip yang berbeda, Islam. Tetapi sebuah dorongan atau kekuatan untuk menelisik dan mempelajari masih jauh dari impian. Besarnya kesualitan yang dihadapi dalam hal epigraf, arkeologi, dan penerjemahan naskah-naskah sastra dan sejarah Jawa, semakin menenggelamkan harapan tersebut.

Salah seorang tokoh sentral dalam penelitian dan penerjemahan naskah-naskah klasik, terutama naskah-naskah peninggalan Majapahit, adalah Dr. Brandes (13 Januari 1857-26 Januari 1905). Ia adalah seorang sarjana Belanda yang memahami historiografi Jawa, menekuni prasasti-prasasti dan candi-candi, serta studi-studi kepurbakalaan. Dengan kemampuan dan kejeniusannya, ia mempelajari Bahasa Jawa Kuno dan epigrafi di Universitas Leiden. Berkat kemampuannya tersebut, pemerintah Kolonial Belanda berkenan untuk memanfaatkan kecerdasannya untuk tugas-tugas penelitian bidang kepurbakalaan, dan menempatkannya di Hindia Belanda.

Tugas Dr. Brandes di Hindia Belanda adalah meneliti penemuan-penemuan baru di bidang kepurbakalaan dan memahami artinya. Ia kemudian diserahi tugas untuk menangani inkripsi-inkripsi berbahasa Sanskerta yang ditemukan pada penggalian di Kalasan dan Kali Bening, serta memimpin suatu komisi penelitian kepurbakalaan di Jawa dan Madura.

Dalam usahanya untuk meneliti dan memahami naskah-naskah klasik tersebut, Dr. Brandes bertemu dengan naskah Pararaton. Setelah diteliti dan dipelajari, ia mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa Pararaton—meskipun tidak diketahui dengan pasti siapa pengarangnya—adalah salah satu produk sastra Jawa Kuno yang paling menarik parhatian, karena sebagai naskah sejarah, serat ini berdiri sendiri, atau setidaknya tidak ada padanannya. Serat Pararaton atau yang disebut juga dengan Serat Katuturanira Ken Angrok, memaparkan kisah raja-raja Tumapel dan Majapahit dengan segala kewibawaan dan kemegahannya. Dr. Brandes menerbitkan naskah ini pada tahun 1896.

Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian ulang terhadap naskah tersebut, pada tahun 1920 terbit edisi keduanya yang dilakukan oleh Dr. N.J. Krom—Dr. Brandes sendiri belum sempat mempublikasikan hasil kajiannya tersebut, ia meninggal dunia dalam usia yang cukup muda karena kegagalan liver—dengan bantuan dari beberapa ilmuan, seperti: Prof. J.C. Jonker, H. Kraemer, dan Poerbatjaraka. Penerbitan edisi ini dianggap perlu karena sesudah penerbitan edisi pertama tahun 1896, ditemukan tambahan bahan-bahan baru yang dirasa penting, khususnya berupa prasasti-prasasti, tetapi yang lebih utama adalah naskah Negara Krtagama.

Perlu dicatat mengenai hal ini, bahwa penambahan dan perubahan dalam edisi kedua itu, tidaklah terutama berkenaan mengenai teks dan terjemahannya. Yang lebih penting, edisi kedua ini digunakan untuk tujuan Dr. Brandes sebagai bukti pengukuhan kesarjanaannya. Dr. Brandes dalam karya-karyanya yang merupakan hasil upayanya menimba bahan-bahan dari Pararaton, bukan hanya menambah pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa, tapi juga merupakan peletakan dasar baru bagi penulisan sejarah Jawa Kuno.

Pada bulan November 1894, Dr. Brandes menemukan naskah Negara Krtagama di bawah puing-puing Istana Cakranegara, Lombok. Beliaulah yang disebut-sebut telah “menyelamatkan” naskah Negara Krtagama. Ia berada di Lombok sebagai seorang Pejabat Bahasa yang sedang berusaha mendapatkan naskah-naskah lama yang penting di lingkungan kerajaan-kerajaan Bali. Menurut perkiraannya, naskah-naskah lama Jawa kemungkinan besar masih terdapat di Bali, sekurang-kurangnya dalam bentuk salinan.

Perkiraan Dr. Brandes tersebut didasarkan pada data yang diperolehnya dari berbagai sumber yang dianggap relevan pada waktu itu, terutama dari hasil pengkajiannya terhadap naskah Pararaton. Dari hasil pengakajiannya, ia mendapatkan keterangan bahwa Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343, dan sejak saat itu pula tata pemerintahan Jawa pun diberlakukan di Bali. Hubungan khusus kedua wilayah tersebutlah yang menjamin kelangsungan budaya klasik Jawa dalam perkembangan sejarah selanjutnya, khususnya setelah masuknya Islam.

Di dalam naskah Negara Krtagama dikisahkan tentang perjalanan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, menjelajah wilayah kekuasaannya. Inilah yang menjadikan sebab bagi Mpu Prapanca untuk menyebut karya kakawinnya itu dengan nama Desawarnana. Dalam kamus P.J. Zoetmulder, Old Javanese-English Dictionary, desawarnana diberi arti description of the country.

Jadi, naskah itu sesungguhnya bernama Desawarnana, sebagaimana terdapat dalam naskah karya Mpu Prapanca, bukan Negara Krtagama. Dr. Brandes-lah yang bertanggungjawab dalam mengintrodusir penamaan Negara Krtagama. Dr. Brandes mengutip nama itu dari kolofon kata-penutup yang diciptakan oleh si penyalin naskah aslinya. Arti kata “krtagama”, menurut kamus yang sama, adalah “based upon” atau ”establised in the holy traditions.” Jadi, kalau hendak menggunakan kedua arti tersebut, maka “negara krtagama” dapat diartikan: pertama, “negara yang berdasarkan atau didasarkan tradisi suci”; dan kedua, “sejarah pertumbuhan dan perkembangan negara”.

Dari uraian di atas, timbul sebuah; kenapa tidak tetap menggunakan judul aslinya? Apakah hal tersebut justru tidak menimbulkan kekaburan, baik isi maupun tujuan penggubahan naskah tersebut oleh pengarang aslinya? Atau ada maksud-maksud lain di balik proyek penerjemahan tersebut, yang notabene disponsori oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda?

Berbagai kekhawatiran di dalam pengintrodusiran penamaan, membawa sebuah pengharapan untuk mengembalikannya ke dalam judul aslinya. Alasan mempertahankan untuk menggunakan istilah desawarnana adalah; pertama, untuk kembali kepada judul dalam naskah yang asli, seperti yang diberikan oleh Mpu Prapanca sendiri, kedua, untuk menegaskan kebermulaan babak baru dalam studi mengenai naskah karya Mpu Prapanca tersebut. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan untuk memberlakukannya terhadap naskah-naskah klasik lain yang ditemukan.

Penggarapan terjemahan terhadap naskah Negara Krtagama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat tersebut, akhirnya memberikan banyak celah terhadap aneka kritik, meski tidak banyak pihak yang berkepentingan atau belum adanya sebuah kesadaran yang timbul berkenaan permasalahan ini. Salah seorang pengkritik terhadap hasil terjemahan tersebut antara lain Prof Dr. Pigeaud. Menurutnya, susunan kalimat Negara Krtagama tidak biasa bagi orang Jawa pada abad XIV. Karena itu, Ia pun beranggapan dapat membebaskan diri dari tuntutan sintaksis Bahasa Inggris, agar dapat mengikuti naskah Jawanya kata demi kata. Semua kata yang terdapat dalam naskah asli dapat diberi kata Inggris sebagai padanannya.

Para penerjemah Negara Krtagama pun—semisal Stuart Robson, yang mulai menggarap naskah Negara Krtagama pada tahun 1979—mengakui, memang tidak selalu mudah memahami arti kata dan kalimat Jawa Kuno Mpu Prapanca. Ada bagian-bagian yang sederhana dan jelas sehingga tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahannya. Tetapi ada juga bagian-bagian yang maksud penulisnya masih dirasakan gelap, terasa masih kabur. Oleh karena itu, terjemahan naskah tersebut oleh Robson sendiri masih memerlukan penggarapan lebih lanjut.

Ia sangat mengharapkan, agar dari kalangan putra-putra Indonesia sendiri ada yang terilhami untuk menerjemahkan Desawarnana ke dalam bahasa Indonesia, terutama para sarjana pribumi yang memahami Bahasa Jawa Kuno beserta penulisannya. Mereka hendaknya menggarap langsung dari naskah aslinya. Menerjemahkannya dari terjemahan Bahasa Inggris atau bahasa lainnya—yang telah mengalami pengintrodusiran serta penafsiran subjektif penerjemahnya—akan semakin menjauhkan diri dari karya Mpu Prapanca tersebut
Polemik

Dalam penulisan sejarah Nusantara, kita sangat berhutang budi terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dengan para sarjana penelitinya. Mereka menelusuri serta berusaha untuk “menyelamatkan” naskah-naskah klasik yang menjadi salah satu landasan penulisan Sejarah Nasional Indonesia. Hal itu harus kita akui meski di sisi lain mereka juga menimbulkan “kesengsaraan”.

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945 yang mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan,—mengambil istilah dari the founding father kita,—Belanda masih berusaha menancapkan akar-akar pengaruhnya di berbagai bidang. Baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, hukum, politik, sosial, dan budaya. Masih berlakunya sistem pendidikan a la “kolonial” adalah bukti konkret pengaruhnya dalam bidang pendidikan. Kokohnya perkebunan-perkebunan Belanda di beberapa daerah pasca proklamasi, menandakan bukti sisa-sisa kekuasaannya dalam bidang ekonomi. Masih berlakunya KUHP dan perundang-undangan a la Belanda adalah bukti di bidang hukum. Masih banyak bukti-bukti lain yang bisa kita dapatkan berkenaan dengan usaha tersebut.

Pun dalam konteks penulisan Sejarah Modern Indonesia. Kita mungkin sering mendengar tentang beberapa naskah klasik buah karya putra-putra pertiwi. Kata-kata seperti; sutasoma, pararaton, negara krtagama, het boek van mbonang, the book of cabolek, mungkin tidak asing di telinga kita. Namun, satu di antara sepuluh orang Indonesia diragukan pernah membaca naskah tersebut, dalam bentuk terjemahan, apalagi naskah aslinya. Jangankan menyentuh, melihatnya pun kita tidak pernah. Sungguh ironis. Justru orang-orang “asing” yang berusaha “menyelamatkan” harta karun tersebut.

Dampak terhadap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap keotentikan sejarah yang selama ini kita yakini. Kejadian pada masa orde baru telah membuktikan hal tersebut. Lantas apa relevansi yang ditimbulkan akibat pengintrodusiran naskah-naskah klasik? Bukankah itu hanya salah satu bentuk usaha penerjemahan dengan bahasa yang lebih bisa dimengerti khalayak?

Negara Kretagama yang judul aslinya Desawarnana adalah satu dari sekian bukti. Dengan tidak mengecilkan peran Dr. Brandes sebagai sang “penyelamat”, mari kita kupas kemungkinan akibat yang ditimbulkan. Kata “krtagama”, establised in the holy traditions, berseberangan dengan kata “desawarnana”, description of the country. Yang kita tangkap dari kara “krtagama” adalah holy traditions, tradisi suci, sacret traditions, tradisi sakral. Berbeda dengan kata “desawarnana”. Dalam kata tersebut kesan yang dimunculkan adalah pendeskripsian wilayah-wilayah pemerintahan, kekayaan alam serta hukum-hukum yang mengikatnya.

Dalam tradisi suci pemerintahan Jawa Klasik, kita mengenal konsep “Dewa Raja”, seorang raja adalah perwakilan Tuhan di dunia; penghubung antara Tuhan dan alam. Kosep ini memberikan wewenang bagi siapa pun yang berkuasa secara “tak terbatas”, layaknya Tuhan. Akibatnya, tertutup kemungkinan terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan oleh penguasa. Menentang penguasa sama artinya dengan menentang Tuhan.

Pendewaan tersebut berkembang dan mendarah daging dalam masyarakat. Menyusul berkembangnya mitos-mitos terhadap segala ucapan, tingkah laku, tempat-tempat “keramat”, serta “kesaktian”. Hegemoni dari mitos tersebutlah yang mengakibatkan kejumudan pola berpikir. Mitos dijadikan jawaban pada setiap permasalahan, tanpa menggunakan pikiran kritis.

Berbeda jika kita menangkap kata “desawarnana”, description of the country. Kata tersebut membawa kita pada bentangan wilayah Majapahit yang sangat luas, dengan aneka kekayaan alamnya, keberagaman penduduknya, adat-isatiadat dan kebudayaannya, serta hukum-hukum yang diterapkan dalam menyatukan keberagaman tersebut. Kata tersebut membawa kita pada semangat Nasionalisme serta kecintaan terhadap kekayaan dalam keberagaman.

Sebuah permakluman sejarah, apabila Pemerintah Kolonial tidak menginginkan hal itu terjadi. Usaha “penyelamatan” dengan membawa “pulang” naskah-naskah yang “membahayakan” bagi keberlangsungan kekuasaannya, adalah tindakan yang wajar. Nasionalisme serta berpikir kritis akan menghancurkan segala bentuk penindasan dan penjajahan, hal harus diantisipasi oleh Pemerintah Kolonial.

Penggunaan terjemahan tanpa meneliti serta pengkajian lebih komprehensif, terhadap naskah-naskah hasil terjemahan itu, adalah suatu ketidakwajaran. Apalagi bila dijadikan rujukan penulisan sejarah nasional modern Indonsia. Hal ini bukanlah suatu perkara yang dapat mendatangkan permakluman.

Kepedulian putra-putra pertiwi terhadap pijakan sejarah sangat menentukan nasib negeri ini. Penulisan ulang sejarah nasional dengan metode-metode yang “benar”, lebih komprehensif, harus mereka yang menangani. Penyerahan pijakan sejarah pada “orang asing” adalah sebuah bentuk penyerahan nasib pada ketidakpastian. Dalam hal ini, tidak sekadar dibutuhkan seorang “Satrio Piningit”, tetapi negeri ini membutuhkan munculnya “Satrio-Satrio Piningit”. Semoga hal ini bukanlah sekadar wacana, bukan sekadar mimpi di siang bolong.[]

Daftar Pustaka :

1. Swantoro, P., Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Cetakan 2, 2002.
2. Slametmuljana, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, Balai Pustaka dan Departemen Urusan Research Nasional, Jakarta, 1997.
3. Anak Agung Gde Agung, Ida, Bali pada Abad XIX, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1989.
4. Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Jidid 3, 1996.
5. Zoetmulder, P.J., Old Javanese-English Dictionary, Martinus Nijhoff, ’s-Gravenhage,1982.
6. Pradipta, Budya, Potensi dan Power Nagara Kretagama Dalam Mengokohkan NKRI, makalah, disampaikan dalam acara bedah Naskah Nagara Kretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 25 Mei 2005.

Joni Sujono Mahasiswa ICAS yang dimuat pesantren ciganjur.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar