Selasa, 24 April 2012

Sumatera, Pulau Emas nan Retas





KOMPAS/WAWAN H PRABOWO



Pendulang emas di Sungai Bangko, Desa Muara Bangko, Kecamatan Ranto Baek, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Selasa (21/2).

Berdiri di tubir pertemuan dua lempeng benua yang hiperaktif dan dibelah patahan raksasa membuat Sumatera kerap diguncang gempa. Namun, gejolak lempeng benua ini ternyata juga memicu munculnya berbagai mineral berharga di Pulau Sumatera, terutama emas.

Sumatera telah lama termasyhur sebagai Svarnadwipa atau Pulau Emas karena banyaknya logam mulia yang diperdagangkan di pelabuhan-pelabuhan tua di pulau ini. Istilah Svarnadwipa ini disebut dalam naskah-naskah dan prasasti di India.

Walaupun produksi emas Sumatera telah lama dikenal, sumber tambangnya tetap menjadi misteri hingga abad ke-20. Beberapa penjelajah mencatat, emas di Sumatera banyak dihasilkan dari pedalaman yang dihuni oleh manusia liar.

Emas di Sumatera baru mulai ditambang Belanda sekitar tahun 1900, salah satunya yang tertua adalah di Lebong, Bengkulu, yang berada di kaki Bukit Barisan. Dalam tulisannya berjudul ”Traditional Sumatran Trade” di Bulletin de l’Ecole française d'Extrême-Orient (1985), John N Miksic menyebutkan, pada abad ke-18, Belanda ataupun Inggris tidak menyadari telah sangat dekat dengan tempat yang begitu kaya dengan emas, Lebong, yang barangkali telah diusahakan selama berabad-abad oleh masyarakat tradisional.

Walaupun saat itu Belanda dan Inggris telah membeli emas dari masyarakat lokal, mereka tidak tahu sumber emas di Lebong itu. William Marsden, pegawai Inggris, menyebut dalam bukunya History of Sumatera (1783), emas itu diduga ditambang di sekitar Benteng Marlborough di pesisir Bengkulu.

Sukses besar

Formasi Lebong baru diketahui Belanda pada 1890-an dan sejak itu dieksploitasi habis-habisan. Dalam buku Mining in the Netherlands East Indies, Alex L ter Braake menyebut, perusahaan tambang Mijnbouw Maatschappij Simau mulai beroperasi di Lebong Tandai sejak tahun 1910 dan menuai sukses besar.

Eksplorasi terbaru menemukan bahwa jalur emas di Sumatera ternyata berimpit dengan garis patahan sebagaimana ditulis MJ Crow dan TM Van Leeuwen dalam buku Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution (2005). Proses mineralisasi emas ini disebutkan terjadi berbarengan dengan munculnya busur magma di sepanjang Bukit Barisan.

Penunjaman lempeng (samudra) Indo-Australia ke lempeng (benua) Eurasia telah memicu terbentuknya busur magma di sepanjang jalur patahan itu. Di kedalaman 150-200 kilometer, temperatur Bumi sangat panas sehingga batuan di sekitar zona kontak dua lempeng ini meleleh. Sesuai sifat fluida, lelehan batuan panas ini naik ke atas membentuk kantong-kantong bubur batuan panas yang di kenal sebagai kantong magma.

Interaksi magma dengan batuan dasar, pada tekanan tertentu, menyebabkan terbentuknya zona ubahan pada batuan induk lava dan tufa yang kemudian berperan sebagai batuan induk kaya mineral (host rock), termasuk emas.

Pada akhirnya, magma ini mendesak ke atas permukaan membentuk deretan kubah magma atau deretan gunung api di sepanjang Bukit Barisan. Pembentukan kubah magma ini juga mendorong bebatuan dasar yang dulu di dasar Samudra hingga ke puncak Bukit Barisan.

Pengangkatan

Jejak pengangkatan Bukit Barisan itu juga ditemukan Dimsik, perajin batu dari Bengkulu. Belasan tahun dia berburu batu- batu berharga di sepanjang Bukit Barisan, salah satunya batu fosil. ”Yang mengherankan, saya banyak menemukan batu madu di puncak-puncak gunung,” kata Dimsik.

Batu madu merupakan istilah Dimsik untuk fosil batu karang. Setelah dipoles, fosil batu madu ini biasa digunakan sebagai batu cincin. Dimsik lalu menunjukkan aneka batu madu yang masih memperlihatkan struktur berongga menyerupai batuan karang. Sebagian berwarna putih, tetapi banyak juga yang berwarna-warni.

Menurut dia, tempat ditemukannya fosil batu karang itu adalah puncak-puncak gunung di Bukit Barisan dan lokasinya sangat jauh dari bibit pantai. Salah satu lokasi penemuan itu adalah Bukit Luang Batu Api di Kecamatan Muara Saung, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Lokasinya 1.500 meter di atas permukaan laut dengan jarak sekitar 35 kilometer dari garis pantai.

Pakar geofisika Universitas Andalas Padang, Badrul Mustafa, mengatakan, ditemukannya fosil terumbu karang yang membatu puluhan kilometer dari tepi pantai adalah bukti nyata terjadinya pengangkatan dasar laut di masa lampau. ”Peristiwa itu terjadi jutaan tahun lalu seiring terbentuknya Bukit Barisan,” katanya.

Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Provinsi Sumatera Barat Ade Edward mengatakan, batuan fosil sebagai bagian dari batuan dasar terutama banyak terbentuk di daerah tua yang menjadi kerak benua. Pulau Kalimantan adalah salah satu daerah tua itu, yang aktivitas tektonis dan vulkanisnya relatif sudah selesai. ”Karena itulah, banyak ditemukan intan di Kalimantan,” kata Ade.

Sekalipun demikian, di Pulau Sumatera yang proses tektonis dan vulkanisnya cenderung masih aktif, ternyata banyak ditemukan formasi batuan dasar. Seperti batu cincin di Bengkulu, yang menurut Ade memiliki komposisi silika tinggi dan dikenal sebagai onyx.

Selain fosil batu karang, di sepanjang Bukit Barisan juga banyak ditemukan fosil kayu (silicified wood) yang mengalami proses metamorfosis karena temperatur dan tekanan tinggi. Bahkan, di Bengkulu sering juga ditemukan getah pohon yang membatu. ”Inilah proses pembatuan yang paling sulit karena dari karbon menjadi silika tanpa mengubah bentuknya,” kata Ade.

Jejak ini semakin menguatkan bahwa di masa lalu pasti telah terjadi proses pengangkatan daratan Sumatera relatif terhadap muka laut. ”Batu cincin adalah sempalan dari batuan tua yang umurnya lebih tua dari letusan Toba. Ini adalah batuan dasar. Sementara fosil kayu yang membatu diduga sebagai pohon pertama yang tumbuh di bumi,” kata Ade.

Karena terbentuk di fase awal pembentukan bumi, menurut Ade, batuan dasar ini telah merekam proses geologis di Sumatera yang hiperaktif selama jutaan tahun.

Ahmad Arif/Ingki Rinaldi/Prasetyo Eko P/Agung Setyahadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar