Namun demikian, kehadiran tulisan berukuran besar yang terbuat dari logam dicat warna merah tersebut, menimbulkan tanya dari banyak pengunjung yang datang berwisata hari Minggu kemarin di benteng tersebut.
”Benteng ini sejak lama dikenal, termasuk disebut-sebut dalam catatan sejarah dengan nama Benteng Ujungpandang, tapi di sini diberi merk tulisan Fort Rotterdam. Kenapa bisa begitu ya Pak?” Begitu tanya seorang pengusaha muda asal Jawa Timur, setelah baru saja bersama beberapa rekannya melakukan foto bersama di depan tulisan Fort Rotterdam yang terpajang di tepi taman benteng yang berbatasan langsung dengan Jl. Ujungpandang tersebut.
Setelah mereka berfotoria, Minggu sore kemarin tampak serombongan siswa yang mengaku dari kabupaten tetangga Kota Makassar datang berfoto bersama di depan tulisan Fort Rotterdam tersebut. Lebih dari sepuluh menit rombongan anak-anak ini berada di depan tulisan Fort Rotterdam yang merupakan bagian dari pekerjaan proyek revitalisasi Benteng Ujungpandang. Dari mereka tak terdengar satu pun tanya tentang makna kata tersebut. Bahkan anak-anak itu kelihatan begitu ceria dan bangga, secara berkelompok silih berganti saling mengabadikan melalui kamera ponsel dengan latar tulisan Fort Rotterdam.
Benteng Ujungpandang yang luasnya 28.585 meter bujursangkar tersebut dibangun tahun 1545 dalam masa pemerintahan Raja Gowa X, Tunipalangga Ulaweng. Benteng ini merupakan satu-satunya benteng pertahanan Kerajaan Gowa yang tersisa, tidak dihancurkan ketika kolonialis Belanda berhasil memerangi kerajaan Gowa. Puluhan benteng pertahanan Kerajaan Gowa lainnya dihancurkan Belanda setelah dilakukan Perjanjian Bungaya tahun 1667.
Dalam naskah-naskah tua ‘Lontara’ di Sulawesi Selatan, benteng yang tersisa ini jelas disebut-sebut namanya sebagai Benteng Ujungpandang. Kedudukannya, sama seperti puluhan benteng lainnya sebagai Benteng Pengawal dari Benteng Somba Opu yang menjadi benteng induk Kerajaan Gowa di pesisir pantai barat Makassar.
Dalam naskah Perjanjian Bungaya, sebenarnya pihak kolonial Belanda mencantumkan dua Benteng yang tetap harus dipertahankan. Yaitu benteng induk Somba Opu, tidak dihancurkan untuk tetap ditempati oleh pihak Kerajaan Gowa, dan Benteng Ujungpandang lantaran dipilih untuk dijadikan markas dari pihak kolonial. Namun kemudian, pihak Belanda tetap membombardir Benteng Somba Opu yang ditempati pihak Kerajaan Gowa hingga rata dengan tanah.
Pimpinan kolonial Belanda, admiral Cornelis Speelman ketika bermarkas di Benteng Ujungpandang lalu memberi label benteng ini dengan nama Fort Rotterdam pada tahun 1686, sebagaimana nama tempat kelahirannya di negeri Belanda. Sebuah prasasti kecil yang bertuliskan nama Fort Rotterdam kemudian dipajang di atas pintu belakang benteng ini, seperti yang masih terlihat sekarang. Pintu belakang Benteng Ujungpandang (di bagian barat) tersebut oleh kebanyakan generasi sekarang dikenali sebagai halaman depan Benteng Ujungpandang. Padahal pintu depan benteng ini, sebagaimana dokumen yang ada, terletak di bagian timur yang sekarang masih tertutup bangunan perumahan dan Kantor Pos Besar Makassar.
Upaya revitalisasi Benteng Ujungpandang yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sejak tahun 2010 lalu, dimaksudkan untuk mengembalikan zoning benteng ini sebagaimana awalnya. Termasuk untuk membuka bangunan yang masih menutup berimpit dengan dinding benteng di bagian timur yang merupakan halaman muka, dan bangunan-bangunan yang menutup di bagian utaranya.
Dengan dana yang dikucurkan melalui APBN tahun 2010 sebesar Rp 8,9 miliar sejumlah kerangka dan atap bangunan dalam Benteng Ujungpandang direhab dan bahkan terlihat diganti. Sebagaimana diketahui, pada awal benteng ini dibangun bangunan-bangunan bergaya rumah adat Bugis Makassar yang menghias didalamnya. Tapi kemudian, ketika pihak kolonial merampasnya, bangunan-bangunan tersebut diganti menurut kehendak mereka. Tak heran jika bangunan-banguan permanen yang tersisa dalam Benteng Ujunpandang saat ini didominasi bangunan berkonstruksi ala Belanda, di samping terdapat bangunan buatan pihak Portugis dan Jepang.
Revitalisasi tahap pertama juga berhasil membebaskan Kantor Dinas Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan yang menghimpit dinding benteng di bagian Selatan. Di bekas gedung tersebut, dalam tahun 2011 lalu dengan menggunakan dana APBN Kementerian PU melalui pos anggaran ‘Penataan Ruang Terbuka Hijau’ sebesar Rp 3,6 miliar berhasil dibangun sebuah taman. Di samping penggalian kanal sesuai zoning benteng masa lalu sepanjang 300 meter dengan lebar antara 10 hingga 17 meter, dan kedalaman kanal 3,5 meter.
Dalam tahun 2011 juga, melalui APBN diguyur dana sebesar Rp 24,3 miliar untuk revitalisasi lanjutan tahap II Benteng Ujungpandang. Plus ada dana khusus sebesar Rp 4,3 miliar diarahkan untuk merevitalisasi Museum La Galigo yang menempati dua bangunan — Bangunan M dan Bangunan D yang sebenarnya juga sudah menjadi sasaran proyek revitalisasi Benteng Ujungpandang.
Namun rencana untuk revitalisasi tahap III Benteng Ujungpandang tahun 2012, di antaranya untuk memindahkan sejumlah bangunan milik Stasion RRI Makassar yang menghimpit dinding benteng di bagian utara tampaknya tidak dapat berjalan. Dana yang diancang-ancang untuk itu sebesar Rp 10 miliar tak akan terujud, lantaran pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2012 ini melakukan moratorium sementara tidak memberikan bantuan untuk revitalisasi situs sejarah maupun purbakala di seluruh Indonesia.
Apa alasan pihak pelaksana proyek revitalisasi Benteng Ujungpandang tahun 2011 membangun label nama Fort Rotterdam di arah barat Benteng Ujungpandang tersebut, belum pernah ada penjelasan yang pasti.
Sejumlah warga Kota Makassar menyatakan, menenggelamkan nama Benteng Ujungpandang dengan mempopulerkan namanya sebagai Benteng Fort Rotterdam adalah suatu tindakan keliru. Bahkan disebut mengelabui sejarah, sebab mengabadikan nama Fort Rotterdam yang diberikan oleh pihak kolonial Belanda terhadap Benteng Ujungpandang sama dengan tidak lagi menghargai perjuangan para leluhur yang telah bersusah payah membangun benteng termasuk mempertahankannya hingga memakan korban ratusan ribu jiwa dalam Perang Makassar seperti yang dicatat sejarah.
”Keuntungan apa yang kita dapat dengan menggantikan nama Benteng Ujungpandang menjadi Benteng Fort Rotterdam,” ujar seorang peserta suatu kelompok studi di Makassar ketika berdiskusi tentang Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan belum lama ini.
Melalui catatan brosur Pameran Benteng-benteng Indonesia Dulu, Kini, dan Esok yang beberapa waktu lalu dilakukan di Benteng Ujungpandang, dinyatakan sudah terinventarisasi sekitar 477 benteng di seluruh Indonesia. Benteng-benteng tersebut umumnya dikategorikan sebagai benteng kolonial lantaran dibuat oleh bangsa-bangsa Eropa, seperti Inggris, Portugis Spanyol dan Belanda antara abad XVI - XVII.
Beberapa benteng peninggalan pihak kolonial yang terkenal di Indonesia langsung dapat diketahui dengan label namanya. Seperti Benteng Marlboorough yang dibangun pada awal abad 18 oleh The British East India Company di Bengkulu. Benteng Willem I yang dibangun Belanda tahun 1833 di Ambarawa, Jawa Tengah. Benteng Vander Wijk buatan Inggris tahun 1818 di Gombong, Jawa Tengah. Benteng Vredeburg (Fort Rustemburg) yang dibangun Belanda tahun 1760 di Yogyakarta. Benteng Lodewijk buatan VOC abad XVII di Gresik, Jawa Timur. Benteng Vastenburg dibangun Belanda tahun 1743 di Solo, Jawa Tengah. Benteng Tolukko (Holandia) yang dibangun Portugis tahun 1540 di Ternate. Benteng Amsterdam dibangun Belanda tahun 1637 di Desa Hila, Ambon.
Benteng Ujungpandang yang dibangun oleh leluhur Indonesia di Makassar, mengapa harus dipopulerkan dengan nama Benteng Fort Rotterdam pemberian kolonial tersebut? Pertanyaan ini disahuti seorang warga Kota Makassar lainnya dengan menyatakan, saat ini tampaknya nama bukan lagi label yang perlu dipersoalkan sekalipun itu menyangkut karakter dan jati diri kita dalam berbangsa dan bernegara.
”Keadaan Indonesia sekarang sudah berubah. Jangankan Benteng Ujungpandang yang dicaplok pihak kolonial kemudian diganti namanya menjadi Benteng Fort Rotterdam mau dipersoalkan. Sekarang saja ada hotel baru, sepuluh lantai yang dibangun di Jalan Metro Tanjung Bunga Makassar jelas-jelas diberi nama Hotel Colonial tidak ada yang mempersoalkannya. Apalah arti sebuah nama di Indonesia seperti terlihat dalam kondisi sekarang ini,” katanya.
Mahaji Noesa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar