Kejanggalan-kejanggalan pada sebuah peristiwa sejarah merupakan sebuah hal yang biasa dan tentunya sebuah peristiwa yang janggal itu selalu menunggu kehadiran kita untuk mengungkapkannya. Bagi sejarahwan yang ingin memahami perjalanan sejarah Indonesia modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustasi ialah justru kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian yang terpenting. Keberadaan LEKRA yang merupakan sebuah lembaga yang beranggapan bahwa seni merupakan sebuah alat perjuangan dan perjuangan yang mereka maksudkan adalah perjuangan kerakyatan ternyata menimbulkan berbagai stigma yang tidak cocok di daerah Banyuwangi. Cap bahwa Lekra adalah PKI dan PKI adalah Lekra itu sendiri pada dasarnya telah menyulut berbagai permasalahan yang berdampak pada pembunuhan dan pembantaian para anggota Lekra yang sudah mendapat cap sebagai orang-orang Komunis. Lekra merupakan sebuah organisasi yang memanfaatkan seni sebagai alat perjuangan untuk melawan semua ketimpangan yang ada di Indonesia.
Pergulatan politik di Banyuwangi sedikit banyak ikut memberikan sumbangan terhadap pembentukan stigma-stigma yang miring terhadap Lekra, terjadinya banyak gesekan-gesekan dan rasa sakit hati para anggota NU mereka melakukan pendoktrinan dan menciptakan rasa ketakutan terhadap PKI dan underbrownya dan muncullah anggapan bahwa lekra adalah underbow dari PKI. Mulai saat itulah terjadi perburuan anggota-anggota lekra yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang dibentuk oleh NU untuk menumpas habis para anggota Lekra yang dianggap sebagai orang-orang PKI. Banyak faktor yang menyebabkan peristiwa berdarah ini bisa terjadi, kepentingan-kepentingan politik ikut bermain di dalamnya.
Lima tahun setelah revolusi Agustus 1945, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dibentuk atas inisiatif antara lain D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto pada tanggal 17 Agustus 1950. Anggota-anggota awal Lekra adalah pengurusnya itu sendiri yang terdiri dari A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebar Ajoeb. Pada pasca revolusi Agustus tersebut kebudayaan sedang berada dipersimpangan yang kritis. Gambaran kritis kelahiran Lekra tersebut berhasil digambarkan Joebar Ajoeb dalam “Laporan Umum”-nya di kongres I Lekra:
“Lekra didirikan tepat lima tahun sesudah revolusi Agustus pecah, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berjudul persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Ketika itu orang-orang kebudayaan yang tadinya seolah-olah satu kepalan tangan yang tegak di pihak revolusi, menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia, menyebrang. Yang lemah dan ragu-ragu seakan-akan putus asa karena tak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara”.
Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi. Tugas ini diyakini tak boleh hanya dibebankan kepada kaum politisi, tapi juga menjadi tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Lekra mempertanyakan pencarian bentuk kebudayaan nasional yang mesti memberi kepuasan pada setiap orang tanpa harus mengujinya secara masak-masak apakah pendapat dan pendirian tersebut benar-benar berakar dalam masyarakat dan merupakan pendapat dan pikiran rakyat banyak (nasional). Konsepsi nasional kebudayaan menurut Lekra sama sekali bukan bersandar pada kesatuan pandangan hidup dan keyakinan aliran seni. Sebab mustahil hal tersebut dapat diwujudkan. Konsepsi kebudayaan nasional memberikan kebebasan yang sepenuhnya kepada setiappandangan hidup dan keyakinan seni dengan syarat mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak.
Lekra beranggapan bahwa tidak ada seni yang mengabdi untuk seni itu sendiri, atau dengan kata lain, seni mesti berpihak. Karena kehadiran seni bukan berasal dari ruang yang kosong, tetapi lahir dari kehidupan yang nyata. Dan Lekra memandang bahwa kehadirannya di Indonesia adalah untuk menuntaskan tugas-tugas yang dibebankan oleh revolusi Agustus 1945. Pilihan itu memberi konsekwensi untuk dengan sadar memilih jalan bahwa kebudayaan harus mengabdi kepada kepentingan rakyat. Ideologi kerakyatan itulah yang menjadi tumpuan aktifitas kebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu ideologi dalam berkarya.Mutu ideologi diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya. Keduanya harus dicapai setinggi-tingginya. Karena mutu ideologi yang diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi dalam kreasi tidak mungkin dicapai tanpa disertai mutu artistik yang tinggi pula. Lagu genjer-genjer sebagai awalan berkembangnya masuknya LEKra di Banyuwangi (underbow PKI)
Dalam buku Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, Karya skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas FISIPOL UGM, yang diangkat sebagai buku ini. Menjelaskan bahwa lagu Genjer-Genjer dijadikan keputusan yang tak perlu bersusah-payah mencari dukungan politik. Sebab pasca Tragedi Gestok tahun 1965, apapun simpulan yang menimpanya akan langsung awas, Genjer-Genjer adalah produk manifesto Partai Komunis Indonesia. Untuk mengenal asal usul lihat kutipan dibawah ini:
“M. Arief si pencipta lagu Genjer-Genjer memilih bergabung degan LEKra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) akhir tahun 1950-an. Pada masa itu Lekra memiliki hubungan tidak langsung dengan Partai Komunis Indonesia. Namun sebelum Genjer-Genjer popular dan diperdendangkan secara massal dalam lintas teritorialnya, kedekatan lagu Genjer-Genjer dengan tokoh-tokoh komunis sudah terendus sejak awal sejak awal. Selain karena sin komponis Genjer-Genjer itu terkabung dengan Lekra, juga karena peran Njoto (tokoh PKI). Pada bulan Desember 1962, Komite Eksekutif Biro Pengarang Asia-Afrika yang berkedudukan di Kolombo Sri Lanka, menyelenggrakan konferensi di Denpasar Bali. Datang para utusan dari tiga belas Negara anggota Komite Eksekutif dari berbagai Asia-Afrika. Sedangkan delegasi Indonesia diwakili utusan-utusan yang terdiri dari; Lembaga Kebudayaan Nasional(LKN) di bawah pimpinan Sitor Simurang, Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia(Lesbumi), dipimpin Mahhub Junaidi, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra) dipimpin Jubaar Ajoeb. Para atusan Lekra itu berangkat bersama-sama dalam dua mikrobus. Di antara ada beberapa nama yang cukup kita kenal seperti; Rivai Apin, Hr. Bandaharo, Pramoedia Ananta Toer, Bujung Saleh Puradisastra, Dodog Jiwapraja, Samandjaja, S. Anantaguna, Sabron Aidit, Dan Njoto(Iramani). Rombongan mikrobus Lekra ini meninggalkan Jakarta melalui Cirebon-Purwokerto-Yogyakarta-Malang dan transit di Banyuwangi. Sebelum menyeberang ke Bali, degelasi dari lekra dari pusat itu disambut dengan meriah oleh pimpinan Lekra cabang Banyuwangi, antara lainSuhaili Cordiaz (pemimpin Lembaga Sastra) dan M. Arief (pemimpin Lembaga Musik). Selain itu mereka disambut oleh satu kelompok pemusik angklung, semuanya perempuan berpakaian kebaya yang berkumpul di tanah lampang. Tidak banyak reportoar yang dimainkan oleh para pemusik angklung itu, tetapi satu diantaranya adalah lagu Genjer-Genjer. Lagu itu dimainkan sebagai musik pembuka dan penutup acara dan dinyanyikan dalam bahasa Jawa langgam Banyuwangi, sedangkan musiknya dalam nuansa laras pelog.”
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, (Jogjakarta: Merakesumba, 2008), hlm. 21.
[2] Lekra didirikan pada tanggal 17 agustus 1950 di Jalan Wahidin 10 Jakarta Pusat. Diantara pendirinya adalah A.S. Dharta, yang selanjutnya dipilih sebagai Sekertaris Umum (dalam Lekra tidak menggunakan istilah ketua), Joebaar Ajoeb yang kemudian menggantikan A.S. Dharta tahun 1958, Henk ngantung, M.S Ashar, dan Nyoto. Sekertaris Lekra Pusat yg terdiri diri 6 orang, yaitu A.S. Dharta, M.S Ashar, Herman arjuno, Henk ngantung, Joebaar Ajoeb. Hubungan ideologis tidak langsung dari Lekra antara Lekra dan PKI maksudnya tidak semua organisasi sukarela budaya (konsorsium) yang bergabung dengan Lekra adalah anggota PKI. (Hersri setiawan, Kamus Gestok,(Galang press: Yogyakarta), hlm. 169-170
Priya Purnama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar