Senin, 09 April 2012

Hikayat Sebujur Jalan di Laweyan

1333990106571882697

Gambar diunggah dari Google Image




Sebujur Jalan Laweyan, Saksi dari Perpindahan Kekuasaan dari waktu ke waktu……..

Bujur jalan ini adalah sepenggal jalan di Laweyan, Solo. Sebuah wilayah kecamatan di Kota Solo yang menjadi saksi pertarungan kekuasaan di negeri ini dari waktu ke waktu, pertarungan suksesi, pengkhianatan, pemersatuan bahkan keteledoran akan kekuasaan….

Bujur jalan ini menjadi saksi bagaimana kita membangun sejarah. Di tahun 1500-an, ketika Demak mengalami puncak kejayaannya, beberapa trah Majapahit tak puas dengan kekuasaan yang diambil alih orang-orang pesisir. Dengan pengaruh Sjeh Siti Jenar dan revitalisasi kekuatan Majapahit lama, penumbangan kekuasaan Demak terus menerus disusun. Pengaruh ajaran Syeh Siti Jenar yang menekankan pada tasawuf mendapat tempat bagi kelompok pedalaman, bagi para bangsawan yang menolak untuk menyingkir ke Bali dan menerima Islam dengan paham akulturisme, sebuah penerusan keluhuran budaya-budaya yang telah berkembang. Salah satu kelompok itu adalah kelompok Ki Ageng Ngenis, Putera Ki Ageng Selo. Ki Ageng Ngenis membangun wilayah perdikan (bebas pajak) di pedalaman lembah Solo. Kampung ini kemudian menjadi tempat perpindahan dari orang-orang sungai Nusupan atau Bengawan Semanggi (kelak dikenal sebagai Bengawan Solo), orang-orang dari Sungai Nusupan ini bertradisi dagang dan membuat batik, dari kampung Laweyan inilah kemudian dikembangkan tradisi membatik yang lebih rumit dan canggih ketimbang tradisi batik di masa Majapahit atau yang berkembang di Demak dimana pola-pola batik pesisir lebih simpel.

Dari tempat pusat batik ini kemudian berkumpul Ki Ageng Pemanahan, putera sulung Ki Ageng Ngenis dan beberapa kawannya Ki Juru Martani dan Ki Panjawi. Mereka mendapat kawan dari pertapaan gunung Lawu yang bernama Mas Karebet atau dikenal Joko Tingkir. Keempat orang ini di usianya menjelang 30-an tahun menaklukkan wilayah Bengawan Semanggi dan menjadikan pusat perdagangan penting. Setelah penaklukan Bengawan Semanggi, Mas Karebet ingin masuk ke Istana.

Politik Kerbau Ndanu, dimana ada amuk kerbau di Keraton Demak disusun oleh Ki Juru Martani yang cerdas, Ki Panjawi mencari rumput kemudian di aji-aji agar kerbau itu mengamuk di Keraton, dari Amukan Kerbau inilah ‘Senja kekuasaan Demak bermula’. Karebet yang berhasil menjinakkan Kerbau diangkat menjadi ‘Kolonel’ di Demak dan menguasai pasukan darat Demak. Setelah Sultan Trenggono wafat, Karebet malah mendirikan kerajaan Pajang di tepi Bengawan Solo dan mengambil alih semua pusaka keraton Demak. Pertemuan di Kampung Laweyan menjadi saksi perpindahan kerajaan Jawa yang berpusat di Pesisir ke Pedalaman.

Saat Pangeran Aryo Penangsang menuntut tahta Demak, dan menolak naiknya Sunan Prawoto menjadi Raja Demak, Sultan Hadiwijoyo (gelar raja bagi Mas Karebet) melakukan politik intrik di sebuah wisma yang dijadikan tempat pertemuan penasihat politiknya yaitu : Ki Panjawi, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan dan anaknya yang masih berusia 16 tahun Danang Sutowijoyo. Diputuskan dalam pertemuan itu adalah memancing agar Pangeran Aryo Penangsang yang berdarah panas itu untuk keluar dari Keraton Jipang Panolan dan diarahkan ke dalam sungai Bengawan Sore (sebuah kanal buatan untuk pertahanan di seputar keraton Jipang). -menurut data yang didapat Ki Juru Martani kesaktian keris Setan Kober dan jimat Aryo Penangsang memiliki kelemahan di sungai, ini sama dengan ayahnya yang mati di bunuh di tepi sungai oleh Sunan Prawoto dan bernama Pangeran Sekar Sedo Lepen.

Di Bengawan Sore Danang Sutowijoyo memancing Pangeran Aryo Penangsang dengan memantati dan mengata-ngatai pengecut. Marahlah Aryo Penangsang, lalu meloncat ke kuda hitam beringas Gagak Rimang, walau sudah dihalangi oleh Ki Patih Mentahun dan adiknya Pangeran Aryo Mataram. Di tengah-tengan kali Bengawan Sore itulah perut sebelah kanan Penangsang tertusuk tombak Danang Sutowijoyo, dan ususnya terburai. Lalu Penangsang naif mengalungkan ususnya itu ke tepi keras dan terus mengejar Sutowijoyo, ketika Keris Setan Kober dicabut dan berteriak “Mampuslah kau bocah ingusan!!” ususnya terpotong dan Penangsang langsung mati.

Kematian Penangsang ini juga mengawali berdirinya Kerajaan Mataram dimana Danang Sutowijoyo menjadi penguasanya, di usia 24 tahun, Danang Sutowijoyo bergelar Raden Sabrang lor Ing Pasar, ini karena Ki Gede Pemanahan mampu membangun pasar yang ramai dengan mendatangkan budak-budak terampil dari Bali yang sampai sekarang masih ada jejaknya dan dikenal sebagai ‘orang kalang’. Kelak orang kalang adalah pengusaha-pengusaha kaya di Kotagede bahkan kekayaannya melebih keraton Yogyakarta.

Menjelang umur 30 tahun, Ki Gede Pemanahan mengajak anaknya menemui Sultan Hadiwijoyo di Laweyan dan bicara soal gelar penguasa Perdikan. Kemudian Sultan memberikan gelar ‘Panembahan Senopati’. Diharapkan Danang Sutowijoyo menjadi Panglima Pajang yang utama untuk menaklukkan Bang Timur dimana Surabaya adalah incaran utama Sultan Hadiwijoyo. Tapi pertemuan itu tak lama kemudian ternoda dengan peristiwa asmara Raden Pabelan saudara Panembahan Senopati dengan sekar kedaton Pajang, yang kemudian Raden Pabelan dibunuh oleh Keraton Pajang dan membuat marah pihak Mataram.

Pembunuhan Pabelan yang ditombak mati di Laweyan dan mayatnya dilarung di sungai membuat Panembahan Senopati murka.

Panembahan Senopati setelah mendapatkan dukungan bupati pesisir yang dikontrol oleh Ki Juru Martani balik menantang Sultan Hadiwijoyo. Tantangan ini dijawab dengan Sultan Hadiwijoyo dengan mengirimkan ribuan pasukan ke Kotagede melewati jalan Prambanan, di dekat candi Prambanan gunung merapi meletus. Namun Panembahan Senopati sudah menyusup ke Laweyan dan sungkem kepada Sultan yang terjatuh dari gajah, setelah sungkeman itu tak lama Sultan Hadiwijoyo mangkat.

Setelah Keraton Mataram memapankan kekuasaan, wilayah Laweyan tetap memiliki arti penting. Kekuasaan Kotagede amat bergantung dengan jalur sungai. Suplai di utara didapat dari Solo dimana Bengawan Solo menjadi pusat perdagangan paling penting di Jawa pedalaman untuk mengalirkan barang-barang kebutuhan masyarakat. Setelah Sultan Agung meninggal, anaknya yang bernama Amangkurat terlalu banyak memainkan intrik yang tak perlu dan menyebabkan kerajaan mendapatkan musuh dimana-mana. Konflik Amangkurat ini kemudian memutuskan Keraton dipindahkan ke Plered, keraton baru dibuat dengan batu merah dan amat kokoh. Tapi di Plered ini juga kemudian Amangkurat I semakin mencurigai semua orang, ia menculik satu persatu penggede keraton, orang-orang tua keraton dan dibantai lalu menggantinya yang lebih muda.

Di jalan Laweyan, Amangkurat mengumpulkan kelompok pedagang, para panglima perang dan pemimpin administratif Jawa lalu memutuskan ’sentralisasi Jawa’ hegemoni Mataram benar-benar diwujudkan dengan menutup bandar-bandar pesisir, menghantam Banten, mencabut persekutuan dengan Cirebon yang kemudian berbuntut dipermalukannya Amangkurat oleh Banten dan tidak mampunya Amangkurat menguasai Bang Timur (Surabaya) yang merupakan amanat penting Bapaknya, Sultan Agung Anyokrokusumo.

Pada masa pemerintahan Amangkurat III, Jalan Laweyan dikenal masyarakat sebagai tempat dihukumnya Raden Sukro, Putera Raden Arya Sinduredjo, patih Amangkurat. Raden Sukro ada main seks dengan salah seorang selir Amangkurat yang juga merupakan anak Pangeran Puger, kelak Pangeran Puger menghantam Amangkurat Mas dan menjadi Raja dengan gelar Pakubuwono I. Melawannya Pangeran Puger ini tak lepas dari dipermalukannya puterinya di depan umum di Jalan Laweyan.

Pada masa Pangeran Diponegoro, Jalan Laweyan sempat menjadi pertemuan diam-diam antara Pakubuwono VI dengan utusan Diponegoro dan diputuskan agar Solo juga membantu Yogya melawan Belanda. Keputusan ini kemudian dilanjutkan ke sebuah desa yang dinamakan Alas Krendowahono di utara Solo. Pertemuan Alas Krendowahono menjadi dasar persekutuan saling pengertian antara Solo dan Yogya dalam ‘Perang Tegalredjo’. Bantuan Solo ini kemudian diwujudkan dalam bantuan kelompok ulama garis keras yang dipimpin Kyai Modjo. Persekutuan diam-diam ini kemudian dibongkar oleh agen intel Belanda dan melaporkannya ke Semarang, atas perintah Gubernur Jenderal Batavia, Pakubuwono IV ditangkap lalu dibuang ke Ceylon. Penggede Belanda saat itu menyebut dokumen penangkapan sebagai ‘Dokumen Laweyan’. Namun Belanda tidak bertindak gegabah, karena mereka tak ingin menambah musuh, Keraton Solo didiamkan. Pada suatu saat Pangeran Diponegoro, menyusup ke Keraton Surakarta dan bicara penting soal pasukan Madura. Ditengah pembicaraan tiba-tiba datang Residen Surakarta, Pangeran Diponegoro sembunyi, lalu melarikan diri, kereta yang ditinggalkannya dikuburkan di belakang istal Istana Surakarta. Pakubuwono VI adalah keturunan Ki Juru Martani dan memiliki nama kecil Raden Mas Sapardan, menganggap wilayah Laweyan adalah wilayah penting kerna Ki Juru Martani kerap mengambil keputusan di wilayah itu, pada tahun 1830 ketika perang Diponegoro usai, Jenderal Van Den Bosch di salah satu rumah dinasnya di Jalan Laweyan meminta Pakubuwono VI menyerahkan kekuasaan Surakarta di sekitar wilayah Banyumas, Jepara dan Madiun, tapi Pakubuwono VI menolak, penggede Belanda itupun menyodorkan bukti-bukti persekutuan Pakubuwono dengan Diponegoro, kemudian Pakubuwono VI ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon, ditengah laut Pakubuwono ditembak mati, kelak Jenderal Pangeran Djatikusumo salah seorang penggede Angkatan Darat Republik anak dari Pakubuwono X mengumumkan tengkorak Pakubuwono VI ada lobang di kepalanya tembusan peluru jungle riffle.

Jalan Laweyan juga saksi bentrok antara orang-orang Mangkunegaran dengan pedagang Cina akibat politik diskriminasi Belanda, waktu itu di awal abad 20, orang-orang Cina mendirikan perkumpulan yang kemudian menjadi berkembang semacam perkumpulan politik yang garisnya searah dengan Nasionalis Cina yang sedang happening di daratan Cina dimana Dr. Sun Yat Sen menjadi pelopornya, perkumpulan ini kerap bentrok dengan saudagar-saudagar Laweyan, untuk menandingi Perkumpulan Cina ini seorang Saudagar Laweyan, bernama Hadji Samanhudi mempelopori berdirinya Sarekat Dagang Islam, atau dikenal SDI sebagai cikal bakal Sarekat Islam dimana kemudian muncul macan podium yang paling berpengaruh atas nasionalisme Indonesia : HOS Tjokroaminoto.

Pada 29 Desember 1929, Bung Karno berpidato ke Solo dengan menumpang taksi Cherovlet yang dikendarai Arif anak gang cikini Bung Karno mengajak Maskoen, Gatot Mangkuprodjo dan Mang Ojib. Bung Karno pidato di sebuah gedung bioskop dimana terdapat pertemuan Permufakatan Politik Indonesia, Setelah pidato di Solo Bung Karno bersama Inggit, Gatot Mangkupradja makan di sebuah warung sate kambing di Laweyan, kemudian mereka ke Yogyakarta ke rumah Raden Mas Mashudi di Jalan Tugu Kidul. Saat mau beristirahat segerombolan polisi Belanda mengetuk pintu rumah Mashudi dan memerintahkan Bung Karno keluar, tuduhannya adalah pidato di Solo mengandung unsur subversif, rombongan Sukarno disuruh berganti pakaian di halaman dan dibawah todongan senjata di bawa ke Stasiun Tugu lalu dengan kereta khusus tanpa jendela dibawa ke Bandung. Dan diadili kemudian lahirlah pokok pemikiran Sukarno yang terkenal berupa analisa sejarah perkembangan masyarakat yang diperbudak kapitalis dan modal asing bernama “Indonesia Menggugat”.

Pada saat pertarungan keras antara kubu Sjahrir dengan Tan Malaka dan berujung pada peristiwa Paras, Boyolali. Jalan Laweyan amat penting. Di Jalan Laweyan pula terdapat beberapa pertemuan kelompok tentara anti kebijakan ReRa Hatta dan kemudian melahirkan ‘perang Srambatan’ antara Pasukan Siliwangi yang pro Hatta-Nasution dengan pasukan Solo yang anti Rera, perang Srambatan ini juga berkembang menjadi Madiun Affair. - Saat itu Solo dikenal sebagai sarang oposisi terhadap pasukan Pemerintah yang bercokol di Yogyakarta atas perlindungan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kelompok oposisi menolak apabila laskar-laskar rakyat dilucuti, sementara banyak laskar-laskar rakyat juga binaan Amir Sjarifuddien, eks menteri pertahanan di era sebelumnya.

Setelah Madiun Affair terjadi, penangkapan pasukan komunis dilakukan pasukan Kala Hitam, Siliwangi pimpinan Mayor Kemal Idris beberapa pemimpin muda Komunis berhasil sembunyi termasuk DN Aidit yang bersembunyi di salah satu rumah Laweyan. Setelah KMB 1949 sebuah perjanjian memperpendek perang ditandatangani, Aidit sempat sering muncul di Laweyan kemudian ke Kranggan Yogyakarta lalu menurunkan ukiran jati lambang PKI dan membawanya ke Jalan Kramat, lalu menjadikan PKI sebagai Partai terbesar nomor empat di Indonesia yang dibangun oleh DN Aidit yang saat itu masih berusia 31 tahun. -Kenangan Aidit terhadap Jalan Laweyan dan beberapa wilayah Solo ia bacakan juga ketika berhadapan dengan Jaksa Dali Mutiara pada pengadilan verifikasi peristiwa Madiun 1949 yang coba diangkat pihak Masjumi beberapa tahun kemudian.

Inilah cerita bujur jalan Laweyan, dimana banyak tersimpan saksi sejarah penting berdirinya negeri ini.

Anton Dwisunu H N

Tidak ada komentar:

Posting Komentar