Jumat, 20 April 2012

Bagan, Paris, dan Salim

Sumatera Timur: Di sebuah zaman, Bagan Api-api adalah anak kandung Sumatera dan adik kandung dari kota Medan. Nama Bagan teramat wangi, mengalahkan tapaknya. Ibarat bunga, dia semerbak, dan membenam nama harum potnya. Bagan Api-api itu kemudian bersalin nama jadi Siapi-api. Sebuah bandar muara yang pikuk dan berderap. Catatan Tengkoe Bagoes dari Kerajaan Siak, bahwa kota ini amat dinamik. Catatan itu bertajuk “Gaduh di Bagan Api-api”: Di kota cahaya ini pula, Sultan Siak menisbahkan pengelolaan pajak (pasar) Bagan kepada seorang Cina terpandang dari Medan bernama Tjong A Fie. Medan adalah ibukota Residensi Sumatera Timur kala itu. Dan anak-anak Bagan jika hendak memanjat dunia, mestilah mendaki kota Medan. Dari Medan, anak Bagan menjilat langit, menjulang dunia. Merata buana, menghidu dan mendelik mata ke ruang-ruang jauh. Lalu tersebutlah sebuah nama: Salim.

Daoed Joesoef, beberapa kali menyebut nama Salim di dalam beberapa bukunya, seorang maestro lukis yang bermukim di Paris. Menghabiskan angka usianya hingga menutup mata pada 2008 di sebuah apartemen mungil Neuilly-sur-Seine Paris di umur yang ke 100. Dalam catatan mengenai Salim, ibunya Nuraini, seorang Melayu Bagan Siapi-api, dan ayah Salahuddin, seorang Melayu keturunan Persia. Di tubuhnya berbancuh darah benua dan tanah Perca timur. Dari sini hendak disuling tentang ihwal Bagan sebagai tanah kosmopolitan; tempat semua orang dan bangsa bersua pada sebuah zaman. Salim meraih ragam penghargaan, International Festival de Paris Peinture Sud, National Prix dari International Festival de la Peinture a Cagnes-sur-Mer. Penghargaan lainnya dari Amsterdam, Brussel, Bandung dan Jakarta. Mengawali karier sebagai pelukis di sanggar Fernand Legger di Notre-Dame des Champs. Seminggu sekali Legger mengunjungi pelukis muda ini seraya berbisik; “teruskan, teruskan…”. Seingat saya, majalah Tempo membuat liputan khas mengenai tokoh ini dalam dua nomor terbitan beberapa tahun silam. Dia tercatat pernah belajar di Academie de la Grande Chaumiere Paris.

Di London, Soebandrio, duta besar RI untuk Kerajaan Inggeris kala itu, merayu Salim untuk jadi menteri, asal mau masuk ke dunia politik. Dengan lembut Salim menyambut rayuan itu: “Saya ini seorang seniman, apa yang lebih baik dari itu?” Soebandrio terdiam. Desember 1936 dia menikahi Anne (Hanna Deppe). Salim pun melanjutkan hidup lajang sepanjang hayat setelah pisah dengan Anne. Dia dan seorang asisten di rumahnya di tengah kota Paris. Ya, Salim anak Bagan. Selama ini orang terkurung dalam ingatan kolektif, Salim seorang maestro, anak Melayu asal Medan. Ya, Medan adalah gerbang geo-administratif maha besar kala itu bagi orang pantai timur, tak terkecuali Bagan Siapi-api. Orang Bagan memandang Medan hanya sepelemparan batu, sekangkang kera. Beginilah cara Indonesia mengarifi sejarah. Bahwa Medan pernah menjadi ibukota seni kreatif yang bergemuruh di barat nusantara, pada sebuah zaman.

Jika Anda melayari media online Wikipedia, maka carilah tokoh-tokoh Indonesia yang lahir sebelum 1945. Maka, tempat kelahiran tokoh itu adalah; Nederland Indie yang berada di bawah Kerajaan Belanda. Soeharto, Habibie, Gus Dur, nama Presiden Indonesia, di dalam Wikipedia disebut bertempat lahir di negara Belanda (tepatnya di Hindia Belanda). Bukan Indonesia. Begitulah cara media besar menghormati waktu sejarah. Dengan begitu UU Hamidy, seorang budayawan Riau, lahir di Siberakun pada tahun 1943 juga berada di Kerajaan Belanda, di Provinsi Hindia Belanda. Salim sejatinya yang lahir di Bagan Siapi-api, juga berada di bawah kerajaan Belanda di Hindia Belanda atau Hindia Timur. Dan Medan menjadi episentrum pantai timur kala itu, maka disebutlah Salim lahir di Medan.

“Di KBRI Paris aku berkenalan dengan Bung Salim, seorang pelukis yang menjadi staf lokal di kedutaan”, tulis Daoed Joesoef dalam satu bukunya (2006). Begini lanjutan catatan itu: “Raut wajahnya mengingatkan aku pada Pak Roesli; pantas saja karena mereka berdua ternyata berasal dari daerah Riau-Sumatera Timur. Bung Salim bukan sembarang pelukis. Dia satu generasi dengan Bung Hatta dan Bung Sjahrir ketika dulu sama-sama belajar dan berjuang di Nederland. Ketika kedua tokoh tersebut pulang ke Tanah Air, Bung Salim bertolak ke Perancis mengikuti panggilan jiwanya. Ya memang begitulah, kalau kita di Eropa berbicara mengenai kebudayaan, tentu kita merujuk ke Perancis, dan kalau di Perancis kita mendalami kebudayaan, kita mengacu pada kota Paris; Saint Germain de Pres, Montmartre, Montparnasse, Place de Terre, Moulin Rouge, Quartier Latin”.

Yang menyentak kita, ternyata Salim memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan industri tekstil Perancis modern. Artinya, di sela-sela dunia fashion yang lekat dengan alam Paris, ada peran jemari seorang Bagan bernama Salim. Mengenai kegemilangan karya lukis Salim yang sangat berpengaruh pada industri tekstil Prancis dan aliran yang bersebati dalam karyanya, Daoed Joesoef mencatat: “Lukisannya sebagai keseluruhan bergaya impresionis-dekoratif. Corak figurnya merupakan perpaduan antara Barat -dalam hal ini Kadinsky, dadaisme-dan Timur, terutama batik dan flora dan fauna yang distilir sebagaimana yang kita lihat di panel relief Candi Borobudur. Kabarnya industri pertekstilan Perancis biasa memakai motif-motif artistik dari kreasi Bung Salim. Di pameran-pameran tunggalnya di beberapa kota Eropa Barat dia sering disanjung dan mendapat penghargaan. Pengetahuan umumnya luas terutama mengenai perkembangan dan ide politik serta sepak terjang para politikus di Eropa Barat dan Timur. Maka itu dia anti rezim komunis walaupun visi politiknya cenderung marxistis. Karena dia tahu aku suka melukis dan dapat berbicara tentang seni dan kebudayaan pada umumnya, kami berdua cepat akrab”.

Dari Bagan menjijit Paris. Demikianlah Salim, membuat kita bisa menegakkan kepala di depan cermin dunia. Dari muara Rokan, lahir anak zaman yang besar oleh sebuah kebesaran zaman. Dia mengenderai zaman yang besar itu sampai ke pucuk dunia. Suka tak suka, pengaruh Salim tetap lekat dan menempel di dinding-dinding Paris, sebagai pusat peradaban Eropa modern. Dia juga meninggalkan bekas sepanjang Avenue des Champs-Elysees yang dijuluki la plus belle avenue du Monde (jalan terindah di dunia) itu. Tugas kita, bagaimana menempatkan tokoh ini dalam sejarah dan larian panjang kebudayaan Melayu. Bagaimana meletak Salim di atas peterakna ranggi kebudayaan. Termasuk di dalam sejarah seni lukis Indonesia? Ada percik api, dalam bentuk silhouette yang disediakan Daoed Joesoef yang saya simak: menyebut beberapa orang lagi anak Bagan yang berperan dalam sejarah hidupnya selama di Medan Sumatera Timur. Termasuk juga Pak Roesli. Siapa Pak Roesli ini…? Muara Rokan menyuruh kita meneroka zaman.***

Yusmar Yusuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar