Rabu, 14 Maret 2012

Pemimpin Yang Sederhana, Tolak Rumah Besar dan Jabatan Direktur Bank Dunia

Pemimpin Yang Sederhana, Tolak Rumah Besar dan Jabatan Direktur Bank Dunia



Oleh: Mansur Hidayat (Ketua MPPM Timur)

Melihat adegan yang disiarkan setiap hari di media cetak atau elktronik tentang sepak terjang dan persekongkolan para “koruptor” yang dilakukan untuk menggerogoti lumbung-lumbung ekonomi negeri ini sangatlah miris hati kita dibuatnya. Kita sampai tidak biasa berkata apa-apa karena hal ini melibatkan tokoh-tokoh penting Republik ini mulai dari bekas Menteri, anggota DPR sampai para petinggi partai yang berkuasa. Semua ini dkarenakan “korupsi” sudah membudaya dalam keseharian kita. Kita melihat bagai mana “kasus Bank Century” yang menyeret nama-nama penting seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani sampai Wapres Budiono yang sampai sekarang belum tuntas. Belum selesai kasus ini sudah muncul “kasus Wisma Atlet” yang telah melibatkan banyak petinggi Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu seperti M. Nazaruddin, Angelina Sondakh sampai menyeret nama sang Ketua Umum Anas Urbaningrum.




Melihat perilaku para petinggi dan tokoh-tokoh publik ini, sampai-sampai sebagai anak bangsa kita “merindukan” masa lalu ketika elit politik negeri ini berlaku jujur dan sangat menjunjung tinggi kesederhanaan yang dapat dijadikan contoh sebagai “teladan masyarakat“. Salah satu dari sekian tokoh yang bersikap “jujur” maupun “sederhana” itu adalah Mohammad Hatta. Dilahirkan di kalangan masyarakat Minangkabau di Bukit Tinggi, Sumatra barat pada 12 Agustus 1902, ia mengenyam pendidikan awal di sekolah melayu di kotanya. Setelah itu ia melanjutkan pendidkannya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang dan melanjutkan ke MULO sampai lulus tahun 1919. Lulus dari sini ia pun melanjutkan sekolahnya ke Batavia yaitu di Sekolah Tinggi Dagang “Prins Hendrik School”. Pada tahun 1921 iapun pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidkannya di Nederland Handelshogeschool atau sekolah tinggi perdagangan di Rotterdam.



Pengalaman organisasinya dimulai ketika pada tahun 1916 Mohammad Hatta diangkat menjadi Bendahara Jong Sumatranend Bond Cabang Padang. Dalam suatu kesempatan ia mendengarkan pidato Abdoel Moeis yang merupakan anggota Volksraad dan Wakil Ketua Sarekat Islam. Dari sini Hatta muda mulai belajar untuk mendapatkan wawasan dan pengalaman politik. Pada masa menjadi mahasiswa di negeri Belanda yahun 1922 ia kemudian ditunjuk menjadi Bendahara “Indische Vereeniging” yang kemudian dimasa kepengurusannya itu berubah menjadi “Indonesische Vereeniging” atau yang dikenal sebagai “Perhimpunan Indonesia (PI)“. Organisasi inilah yang kemudian dengan berani menuntut “Indonesia Merdeka” pada tahun 1924 dan bergabung di Liga Internasional Anti Imperialisme yang melakukan kongres di Swiss tahun 1927.


Perjalanan organisasi di tanah air dimulai ketika Mohammad Hatta selesai dalam studi dan kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia Pendidikan yang menggantikan posisi PNI yang dipimpin Sukarno dan dibubarkan kala itu. Bung Hatta lebih menyukai PNI Pendidikan membantu masyarakat untuk mengenyam pendidikan sehingga pada tahun 1934 organisasi ini dilarang dan pimpinannaya seperti Mohammad Hatta dan Syahrir ditangkap dan di buang ke Boven Digul. Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, Bung Hatta kemudian bekerja sama dengan Bung karno dan diteruskan ketika memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 agustus 1945. Sejak saat itu mereka berdua diberi julukan “Dwi Tunggal“.



Setelah Indonesia merdeka Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Wakil Presiden I Republik Indonesia. Di dalam perkembangannya RI yang tidak diinginkan oleh Belanda itu diserang sehingga dapat menawan tokoh-tokoh negara yang baru lahir ini seperti Bung Karno dan termasuk dirinya. Setelah Konferensi Meja Bundar dimulai, ia memimpin delegasi RI sehingga menghasilkan perjanjian yang menjadikan indonesia diakui oleh Belanda dan kalangan internasional. Ia kemudian mengundurkan diri menjadi Wakil Presiden tahun 1956 karena beda pandangan dengan Bung Karno yang menjadi Presiden dan menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa. Namun demikian hubungan persahabatan antara keduanya terus berlangsung.


Bung Hatta adalah sosok pemimpin yang jujur dan sederhana baik pada saat menjadi pejuang, penguasa maupun lengser dari kekuasaan. Keahliannya dalam bidang ekonomitidak menjadikan dirinya seorang pejabat yang kaya. Bahkan karir organisasinya dimulai dengan jabatan sebagai “Bendahara” di Jong Sumtranend Bond maupun Indonesische Vereeniging telah membuktikan kepiawaiannyanya dalam hal keuangan sedari muda. Di waktu menjadi Wakil Presiden ia sangat konsern di bidang ekonomi kerakyatan sehingga dijuluki “Bapak Koperasi Indonesia“.


Contoh kesederhanaan Bung Hatta dapat dilihat ketika pensiun dengan uang sebesar Rp.70,- pada waktu itu ia tidak mau diberi rumah yang lebih besar, karena takut gak bisa merawatnya dan bahkan tawaran menjadi salah satu direktur Bank Dunia ditolaknya karena ia tidak menharapkan jabatan apapun selain mengabdi kepada rakyat dan bangsanya. Hal ini sempat mengecewakan anak-anaknya karenakeingin sekolah di luar negeri harus dibatalkan karena kekokohan sikap sang ayah. Pada waktu terjadi G30 S/PKI yang menuduh keterlibatan Bung Karno dan terbunuhnya jutaan rakyat Indonesia, Bung Hatta menginkan pengadilan yang jujur sehingga rakyat mengetahui apa yang terjadi. Ia juga menangis ketika sahabatnya tersebut diperlakukan tidak mausiawi sebagai tahanan “Orde Baru“. Pada tahun 1970 Orde Baru Bung Hatta diangkat sebagai Penasehat Presiden Suharto untuk “pemberantasan Korupsi” yang menghasilkan saran untuk memberikan penyelidikan khusus pada “Pertamina” sebagai BUMN yang kaya, namun tidak pernah dilaksanakan oleh orde baru.



Pada akhir hayat kesedihannya yang mendalam adalah ketika mengatakan bahwa “korupsi sudah membudaya” dan hal ini menjadi semakin liar sampai sekarang. Karena kecintaan dan kesederhanaannya ia berpesan jika wafat ingin dimakamkan bersama rakyat dan tidak ingin dimakamkan di Taman Makan Pahlawan. Oleh karena itu ketika tanggal 14 maret 1980 Bung Hatta meninggal, ia pun dimakamkan di pekuburan rakyat Tanah Kusir. Jutaan rakyat Indonesia menangis dan puluhan ribu orang menghantar kepergiannya. Indonesia telah kehilangan seoarang besar dan sederhana dan sampai sekarang ketika 22 tahun berlalu negeri ini selalu “merindukan” sosok pemimpin yang sederhana seperti dirinya. Selamat jalan Bung, doa rakyat Indonesia selalu mengiringimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar