Rabu, 14 Maret 2012

Aneka Relasi Manusia Menurut Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji; Sebuah Suara Kenabian yang Tak Lapuk

Catatan awal…..

Tahun yang lalu saya mengikuti halal bihalal tokoh agama bersama bapak Gubenur Kepri di asrama haji Batam. Saya terkesan dengan pidato yang disampaikan bapak Gubernur, bukan hanya bahwa beliau membaca dan menafsirkan situasi saat ini dengan sangat berimbang (baca: netral) tapi beliau juga sangat spiritualis dan mencintai budaya melayu.

Adalah nama Raja Ali Haji yang selalu diucapkan beliau dalam pidatonya. Dan tersebutlah Gurindam Dua Belas dengan syair-syair indahnya yang mengajarkan sebuah bentuk hidup moral yang baik di tengah kehidupan dan masyarakat. Sepulang dari pertemuan itu, saya tertarik untuk membaca lebih lanjut Gurindam Dua Belas itu dan karenanya dalam kesempatan ini saya ingin membagikan sepenggal refleksi saya atas syair yang memang punya muatan moral spiritual yang sangat kaya dan mendalam tersebut.

Raja Ali Haji; nama yang tak lapuk

Kita pasti pernah mendengar nama Raja Ali Haji. Beliau adalah pengarang Kepri yang terkenal dan produktif di masa pertengahan abad ke-19. Ketenarannya tampak dalam berbagai pemikirannya yang masih mendapat perhatian hingga saat ini. Banyak penulis, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri telah membahas berbagai pemikirannya ke dalam karya-karya mereka. Dari sekian banyak karya yang dihasilkan tentang Raja Ali Haji, kita dapat mengetahui bahwa pemikiran-pemikirannya masih dapat dihayati hingga kini dan belum kehilangan arti.

Pengarang besar Kepri ini, diperkirakan lahir di Pulau Penyengat sekitar tahun 1808/1809. Ayahnya bernama Raja Ahmad bin Raja Haji dan ibunya Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor. Ia adalah seorang keturunan bangsawan dan dibesarkan dalam lingkungan kerajaan. Ia banyak memperoleh pendidikan maupun pengalaman yang luas, yang kemudian membentuk pola pikirnya. Raja Ali Haji diperkirakan wafat sekitar tahun 1872, dimakamkan di Pulau Penyengat, di komplek makam Engku Puteri Hamidah, berdampingan dengan makam ayahnya, Raja Ahmad bin Raja Haji.

Membaca Sekilas Gurindam 12

Tidak sulit untuk mengenal dan membaca Gurindam Dua Belas. Banyak buku dan tulisan telah memuat syair ini. Bahkan jika kita berkunjung ke Tanjung Pinang ibukota provinsi Kepri ini, kita dapat melihat dengan jelas ukiran Gurindam 12 di sisi depan Tepi Laut yang mengarah ke pulau Penyengat tempat pertama kali karya besar ini ditulis.

Gurindam adalah salah satu bentuk puisi lama Indonesia; tersusun atas dua larik dan umumnya berisikan nasihat atau semacam kata-kata mutiara. Dalam kesusasteraan Indonesia, puisi lama ini hanya diperkenalkan oleh Raja Ali Haji dengan karyanya Gurindam Dua Belas.

Gurindam Dua Belas ditulis Raja Ali Haji pada tahun 1846 di Pulau Penyengat. Diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaacsh Genootschap No. II dengan terbitan dua bahasa, yaitu dengan huruf Arab-Melayu dan terjemahannya ke dalam bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.

Dilihat dari struktur dan batang tubuhnya, Gurindam Dua Belas terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan pembukaan, bagian kedua memuat isi dari gurindam dan bagian ketiga berupa sebuah penutup singkat yang menerangkan bahwa gurindam tersebut selesai dibuat.

Oleh beberapa penulis karya ini dapat digolongkan ke dalam sastra religius. Di dalamnya dapat ditemukan corak didaktif yang sangat kental dan pula pengajaran ilmu tasawuf. Dalam arti itu beberapa penulis kemudian menafsirkannya sebagai jenis sastra sufi yang dibuktikan dengan terdapatnya sejumlah terjemahan kreatif dari hadis yang di kenal di kalangan sufisme. Sementara itu, bentuk bahasa asli yang digunakan dalam Gurindam Dua Belas adalah bahasa Arab-Melayu (Jawi).

Raja Ali Haji dalam menciptakan karyanya, dalam hal ini Gurindam Dua Belas, dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan dengan riwayat hidupnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh yang bisa disebutkan antara lain: kehidupan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan yang memiliki tradisi keagamaan serta keilmuan yang kuat; keberadaan ayahnya yang juga seorang pengarang terkenal di Riau; kehidupan dalam lingkungan kerajaan; pendidikan yang diterima maupun iklim budaya intelektual dan tradisi keagamaan (Islam) yang kuat di Riau pada abad ke-19. Pengaruh-pengaruh tersebut kemudian terlihat jelas dalam karya-karya dan pengetahuan Raja Ali Haji yang cemerlang untuk masyarakat di zamannya dan tetap menjadi panutan dan referensi yang berharga hingga hari ini.

Meneguk Isi; Belajar Hidup dalam Relasi

Jika kita membaca lebih dalam lagi syair-syair Gurindam Dua Belas, kita akan menemukan kandungan isi yang sangat kaya. Kandungan isi yang dimaksud ialah aneka relasi manusia dalam kehidupan yang didalami pada tataran bagaimana manusia semestinya membangun relasi yang baik dengan Tuhan, diri sendiri dan manusia lain. Tema itulah yang menjadi inti keseluruhan Gurindam Dua Belas.

Di dalam uraian mengenai relasi manusia dengan Tuhan, Raja Ali Haji menawarkan ajaran praktis bagaimana relasi itu semestinya tampak dan dibangun dalam kehidupan. Pentingnya agama, pelaksanaan empat jalan yang biasa ditempuh para sufi (syariat, tarekat, hakikat, makrifat), pemahaman akan dunia dan akhirat serta kewajiban untuk taat dan patuh terhadap rukun Islam (syahadat, salat, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji). Ajaran-ajaran praktis tersebut bertujuan menciptakan kedekatan diri dengan Tuhan dan berusaha bertemu dan bersatu dengan-Nya

Kedekatan diri dengan Tuhan dan rasa kebersatuan dengan-Nya itu menurut Raja Ali Haji juga harus dimanifestasikan dalam tingkah laku hidup manusia sehari-hari. Dalam arti bahwa realitas tingkah laku manusia sangat menentukan kadar kebersatuannya dengan Tuhan. Atas dasar itu Raja Ali Haji kemudian menekankan pentingnya relasi dalam batas individual (manusia dengan dirinya sendiri), dan relasi relasi sosial (manusia dengan manusia lain).

Di dalam uraian mengenai relasi manusia dengan dirinya sendiri, Raja Ali Haji menganjurkan tiga hal. Pertama, agar manusia memelihara alat-alat tubuh (mata, telinga, lidah, tangan, perut, anggota tengah dan kaki). Kedua, agar manusia mengatasi penyakit-penyakit jiwa (jalim, dengki, mengumpat dan memuji, marah, bohong, aib diri, bakhil, kasar, dan takabur). Ketiga, agar manusia mengendalikan perbuatan yang mengarah pada dosa (banyak berkata-kata, banyak berlebih-lebihan suka, kurang siasat, mencacat orang, banyak tidur, kurang sabar dalam mendengarkan kabar; aduan, tidak berkata dengan lemah-lembut, melawan pekerjaan yang benar, mengerjakan pekerjaan yang tidak baik, keinginan untuk bersenang-senang dari para hamba raja, perkumpulan orang-orang muda, dan keengganan untuk berguru kepada orang-orang tua dan para alim ulama).

Kemudian di dalam uraian mengenai relasi manusia dengan manusia lain, Raja Ali Haji, menyoroti tiga hal. Pertama, relasi manusia dalam keluarga, relasi manusia dengan sahabat dan relasi raja dengan rakyat.

Aneka relasi manusia dalam Gurindam Dua Belas tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan tidak terpisahkan. Relasi manusia dengan Tuhan yang ditempatkan Raja Ali Haji pada bagian pertama Gurindam Dua Belas dapat dilihat sebagai dasar dan puncak seluruh relasi lainnya. Menurut Raja Ali Haji hubungan manusia dengan Tuhan menentukan relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan manusia lain. Segala penyimpangan terhadap relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan manusia lain berarti dosa di hadapan Tuhan. Segala tuntutan melangsungkan hidup yang baik bagi diri sendiri dan sesama manusia adalah perintah Tuhan. Perikemanusiaan manusia bersumber pada cinta dan takut akan Tuhan. Dengan kata lain, hormat terhadap relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan manusia lain dijiwai oleh relasi manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian, aneka relasi yang terdapat dalam Gurindam Dua Belas tidak dapat dilihat secara terpisah meskipun terdapat penekanan yang khas dalam setiap isi baitnya. Keseluruhan aneka relasi ini saling memuat dan memberi arti sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Pengertian relasi sebagai hubungan yang selaras antara manusia (maujud) dan Tuhan (wujud) sebagaimana dipahami Raja Ali terbentuk dalam dan melalui relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan manusia lain dalam cahaya Ilahi (relasi manusia dengan Tuhan). Manusia hanya dapat masuk dalam relasinya dengan Tuhan melalui relasinya dengan diri sendiri dan manusia lain. Sebaliknya, dalam relasi manusia dengan Tuhan, relasi manusia dengan diri sendiri dan relasi manusia dengan manusia lain, dibawa serta dan semakin disempurnakan.

Kesatuan integral yang tidak terpisahkan dan saling mengikat ini, tentu tidak diperoleh sekali untuk selamanya. Pemahaman relasi di mana manusia dapat mencecap persatuan dengan Tuhan adalah usaha terus-menerus. Dalam relasi ini manusia dituntut untuk memberikan dirinya untuk semakin mencintai Tuhan, diri sendiri dan sesamanya.

Gurindam Dua Belas sebagai Suara Kenabian

Secara umum Gurindam Dua Belas telah menawarkan pesan-pesan kehidupan yang berhubungan erat dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat tersebut meskipun diwarnai oleh nuansa islami yang begitu kental, namun pada hakikatnya berlaku universal, yakni dapat diambil nilainya oleh semua manusia. Oleh karena itu siapa saja yang membaca Gurindam Dua Belas diharapkan dapat memetik nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, menghayatinya dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Pesan-pesan kehidupan dalam Gurindam Dua Belas atau hikmah yang telah di sampaikan oleh Raja Ali Haji ini selalu dalam pengertian yang baik, karena pada awal mula semua karya sastra adalah baik. Hal tersebut dapat pula diartikan sebagai sebuah bentuk keagamaan yang paling tampak dalam seluruh isi Gurindam Dua Belas.

Dalam konteks karya sastra pesan-pesan kehidupan itu merupakan isi. Ia merupakan saran yang ingin disampaikan oleh para pengarang langsung kepada pembacanya. Dalam arti inilah sebuah karya sastra dapat diartikan sebagai suara kenabian yang berfungsi mengajar dengan cara menghibur masyarakat pembacanya.

Jika demikian halnya maka Gurindam Dua Belas sebagai sebuah karya sastra juga menampakkan suara kenabian itu. Hal tersebut secara eksplisit tampak dari seluruh isi gurindam yang telah berusaha membantu manusia menemukan makna hidup demi mencapai kebahagiaan abadi (persatuan dengan Tuhan). Uraian-uraian pada bab sebelumnya telah memaparkan dengan jelas bahwa makna hidup itu dapat ditemukan bila manusia mau membuka diri kepada yang transenden (Allah) dan membangun relasi yang baik dengan dirinya sendiri maupun sesamanya (manusia lain).

Adanya Gurindam Dua Belas sebagai suara kenabian juga diperkuat oleh pola pikir masyarakat Melayu-Islam yang meyakini bahwa seorang ulama adalah seorang pewaris nabi. Kehadiran ulama (dalam hal ini Raja Ali Haji) mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan dan menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Melalui proses kreativitas intelektual yang dimilikinya, ia telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakatnya. Ia telah mewartakan suara kenabian yang berguna serta tetap dihormati hingga saat ini oleh masyarakatnya.

Bila ditinjau lebih jauh suara kenabian yang terkandung di dalam Gurindam Dua Belas sangat erat kaitannya dengan bahasa cinta kasih yang ada dalam ajaran kristiani. Warta ini kiranya berlaku universal, bukan hanya terbatas untuk kelompok manusia tertentu pada masa tertentu tetapi juga berlaku untuk manusia lain di seluruh bumi ini pada masa kini. Menurut Thomas Aquinas sebagaimana ditulis oleh William Chang, cinta kasih adalah kecenderungan yang tertuju kepada kebaikan yang pantas, atau apa yang dipertimbangkan sebagai kebaikan seseorang atau merupakan akar yang menggerakkan segala keutamaan manusiawi (est forma virtutum). Dari pengertian inilah Gurindam Dua Belas dapat disebut menyimpan nilai tersebut.

Ungkapan-ungkapan di atas memperlihatkan bahwa Gurindam Dua Belas telah hadir sebagai sebuah karya sastra yang patut diperhitungkan sebagai alternatif penyampaian nilai-nilai kehidupan. Raja Ali Haji telah melihat kemungkinan itu bahkan menjadikan sastra sebagai sarana utama untuk mempertahankan adat-istiadat yang mencakup pandangan dan tata tingkah laku. Fungsi mengajar yang ditampilkan dengan sangat kental oleh Raja Ali Haji tersebut, telah menjadikan Gurindam Dua Belas sebagai suara kenabian yang tidak kadaluwarsa dan dapat berlaku untuk setiap zaman.

Mengabaikan Relasi Manusia dengan Alam

Raja Ali Haji tampaknya mengabaikan salah satu relasi dasariah manusia. Aneka relasi manusia yang ditulisnya dalam Gurindam Dua Belas hanya menyinggung perihal relasi manusia dengan Tuhan, relasi manusia dengan dirinya sendiri dan relasi manusia dengan manusia lain tetapi tidak sedikitpun menyinggung relasi manusia dengan alam.

Ketidakhadiran relasi manusia dengan alam ini menunjukkan kekosongan dalam relasi dasariah manusia dan dapat menimbulkan ketidakserasian. Hal itu dapat dimengerti karena manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Manusia ada dan berada di dalam dunia dan menentukan dunia. Ia selalu berelasi dengan dunia (alam).

Dalam hal ini Raja Ali Haji barangkali mengikuti pola pikir manusia Melayu yang berkembang pada zamannya. Alam bagi manusia Melayu bukan sebuah soal dan orientasi utama dalam hidup. Alam yang telah tersedia dan terberi dengan segala kekayaannya dalam arti tertentu telah memanjakan manusia Melayu untuk tinggal memanfaatkannya untuk kebutuhan hidup mereka tanpa perlu usaha memelihara atau melestarikannya. Mereka cenderung puas dengan apa yang telah disediakan dan merasa tidak perlu mempersoalkan keberadaan alam yang telah terberikan itu.

Selain itu, orientasi utama dalam hidup manusia Melayu lebih mengacu pada soal pembinaan iman dan moral berdasarkan syariat Islam. Berdasarkan ajaran agama Islam pula, mereka sangat percaya kepada takdir sebagai suatu keadaan yang telah digariskan oleh Tuhan dan tidak boleh dilawan. Segala usaha untuk keluar dari kenyataan itu merupakan sebuah sikap tidak tahu diri dalam mengukur batas-batas kemampuan manusia Melayu terhadap apa yang telah digariskan terutama dalam hubungannya dengan alam. Dalam arti inilah pembicaraan terhadap alam menjadi topik yang tidak dibahas oleh Raja Ali Haji tetapi bukan berarti dilupakan.

Relevansi Pemikiran Raja Ali Haji dalam Usaha Membangun Kehidupan yang Lebih Baik

Tidak dapat disangkal bahwa munculnya pemikiran Raja Ali Haji tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang berelasi telah menambah khasanah pengetahuan tentang manusia di bumi ini. Pemikiran Raja Ali Haji ini membawa warna tersendiri dengan pengungkapan yang menarik dan tetap aktual untuk ditapis nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Dengan menatap dan menyimak uraian terhadap aneka relasi yang ada di dalam Gurindam Dua Belas, akan tampak bahwa Raja Ali Haji sangat menekankan kesucian jiwa manusia sebagai sarana utama demi sebuah tujuan akhir kebahagian abadi (persatuan dengan Tuhan). Penekanan akan kesucian jiwa manusia ini menurut Raja Ali Haji harus ditampakkan manusia dalam relasinya dengan Tuhan (sebagai “benteng batiniah”), maupun dalam relasinya dengan diri sendiri dan manusia lain. Dalam hal inilah, Raja Ali Haji kemudian memberikan prinsip-prinsip dasar praktis bagaimana manusia dapat sampai pada tujuan tersebut.

Bila ditempatkan dalam konteks kehidupan global saat ini, pentingnya menoleh dan menaruh perhatian pada kesucian jiwa yang terwujud dalam aneka relasi manusia, mencuat sebagai sebuah nilai yang relevan dan berlaku universal. Hal tersebut kiranya semakin mendesak untuk diperhatikan jika melihat gejala demoralisasi yang cenderung melanda sebagian masyarakat yang hidup di dunia ini. Pemahaman dan pengamalan hidup etis diterpa krisis berkepanjangan. Hal ini tampak dari watak manusia yang kian kejam, kasar dan tidak berprikemanusiaan. Mereka yang kuat seringkali memangsa yang lemah, yang berkuasa mengeksploitasi yang tertindas dan akhirnya terciptalah peradaban manusia yang tidak adil dan tidak seimbang.

Menghadapi keadaan krisis nilai kemanusiaan yang semakin tidak menentu ini, kesucian jiwa yang ditawarkan Raja Ali Haji masih dipercaya mengandung nilai-nilai luhur yang dapat menghantar manusia ke jalan hidup yang lebih baik. Nilai-nilai itu juga menjadi peluang untuk tampil mengambil prakarsa dan memberikan kontribusi positif dalam upaya mewarnai proses kehidupan ini. Cukuplah dikatakan bahwa bersumber dari jiwa yang bersih, manusia dapat melakukan tindakan yang baik kearah kehidupan yang lebih manusiawi dan beradab.

Kesucian jiwa tersebut tidak datang begitu saja. Ia meski diusahakan dan dipertahankan dalam kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun dalam hubungannya dengan manusia lain. Usaha pencapaiannya membutuhkan hati, waktu, pikiran, tenaga dan seluruh diri manusia serta campur tangan Ilahi sebagai pemberi segala kesucian jiwa. Manusia yang akhirnya memiliki kesucian jiwa tersebut tentu sanggup menciptakan kehidupan yang lebih baik di dalam dunia.

Kini, masyarakat dunia membutuhkan kehadiran pribadi-pribadi “suci” untuk memperbaiki mutu hidup perorangan dan bersama. Persoalannya terletak pada kita, apakah mau memperbaiki diri demi kehidupan yang lebih baik dan manusiawi atau hanya puas dengan segala keadaan yang ada?

Catatan akhir….

Gurindam Dua Belas sebagai warisan budaya leluhur telah membentangkan panorama pemikiran Raja Ali Haji tentang hidup yang baik dicita-citakan. Dengan latar belakang Islam dan Budaya Melayu yang melekat erat dengannya, Raja Ali Haji telah menghasilkan sebuah karya yang tahan zaman dan tidak kehilangan relevansinya untuk hidup sekarang.

Prinsip-prinsip dasar tentang tiga relasi dasariah manusia yang coba ditawarkan Raja Ali Haji dalam bentuk gurindam, sedemikian telah membentuk sebuah pola pikir manusia Melayu dalam menjalani hidupnya. Karya ini tampil dalam wajahnya yang khas dan menarik untuk terus digeluti dan diperdalam.

Suara kenabian yang ditampilkan dalam Gurindam Dua Belas ini akan tetap eksis keberadaannya jika pemaknaan kembali atau usaha mereposisi keberadaannya dalam konteks kekinian tetap dijalankan. Hal itu terutama bila keberadaannya dihargai dalam konteks global saat ini sebagai kekayaan budaya yang dapat mewarnai kehidupan. Dalam arti inilah dapat ditapis nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya sebagai tawaran bagi manusia guna mencapai sebuah kehidupan yang lebih baik, beradab dan manusiawi bersama dengan Tuhan, diri sendiri dan sesamanya.

chrisantpapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar